Senin, 30 Juli 2012

Karena Cinta...



“Sori ya Dul, kalo gue masih mau ngomong, berarti gue peduli sama elu…” kata Erte Kacrut sambil menikmati buka puasa di saung. “Kalo gue udah diem aja, berarti itu udah masa bodoh, terserah elu!”
            Dul Kenyut tidak sendiri, tapi ada beberapa orang lain yang kebetulan buka bareng-bareng di saung. Membatalkan puasa mereka dengan es buah, serutan agar-agar yang serupa rumput laut dicampur pepaya potong dadu dan timun suri dengan pewarna manis sirup yang mereknya terus diputar di tivi. Ehm, slarap-slurup segar…
            “Iya, Te…” sahut Dul Kenyut lirih. Kalah sama suara sendok yang berdentingan.
            “Gue sayang sama elu…” katanya lagi.
            Beberapa mata melihat sumber suara. Erte Kacrut!
            “Gue bilang ya, nggak ada teknologi canggih yang bisa membuat seseorang meloncati waktu untuk tiba-tiba sampai pada cita-cita dan keinginannya.”
            Dul Kenyut diam, khusyu dengan es buah rasa santapan ruhani. Erte Kacrut memang jadi membosankan karena banyak bicara, kadang ia sebel. Apalagi kalau ngomong suka nyelekit! Bikin sakit hati. Meskipun kadang kalau dipikir ya memang bener…
            Dia bilang, kalau mau lebaran ya musti ikutin puasa. Nah, lebaran itu kan bersenang-senang, bar, lebar… Nah, puasa itu syarat untuk bisa lebar, luas, leluasa, bebas dan kembali fitrah. Kalau syaratnya tidak dikerjakan, tidak dipenuhi ya jangan harap bisa menikmati lebaran. Kalaupun ikutan, ya nggak senikmat yang memenuhi syaratnya.
            Dan memang semua itu nggak enak…
            Kudu menahan lapar seharian, padahal biasanya makan sesuka-sukanya. Selama sebulan pula. Biar berkualitas, masih ada prasyarat tambahan lainnya. Kalau batalnya puasa tidak makan dan minum serta menahan hawa nafsu tidak berhubungan badan bagi yang sudah berkeluarga, untuk kualitasnya masih banyak item syaratnya. Menjaga pandangan, mengendalikan mulut agar jauh dari bergosip, banyak sedekah, banyak tilawah Al-Quran dsb. Itu kalau puasa kita berkualitas…
            “Cita-cita juga begitu! Semuanya ada syaratnya…” kata Erte Kacrut meletakkan gelasnya. Lalu menyomot bala-bala di piring beling di depannya. “Nggak bisa tiba-tiba, langsung sampai dan tercapai begitu saja.”
            “Tapi saya nggak ingin pekerjaan seperti kemaren lagi, Te…”
            “Terus lu bisa apa?”
            Dul Kenyut menggeleng dengan senyum kecut.
            “Orang hidup itu harus realistis. Skill lu apa? Ijazah lu mana? Trus daya bargaining lu apa? Nggak usah ngimpi deh…”
            “Saya bosan, Te…”
            “Bosan atau malas?”
            “Saya pengen kerja yang lain…”
            “Ya usaha dong! Kerjaan itu harus dicari, diusahakan, diciptakan. Kalau Cuma kepingin, kepingin, tapi tidak ada pergerakan menuju keinginan itu ya namanya sombong! Biar ilmunya setinggi langit, kalau diam aja ya nggak jadi apa-apa…”
            Dul Kenyut merasa dihantam wajahnya. Heran juga Erte Kacrut sedemikian lugasnya bicara kali ini. Tanpa humor seperti biasanya. Dul Kenyut sebenarnya tahu, Ertenya ngasih solusi, kongkrit, cuma dianya aja yang malas. Dan banyak deh alasannya. Naasnya, Erte Kacrut tahu, kalau argumentasinya cuma alasan, baju kemalasan, dan aksesori dari ketidaksungguhnya. Dul Kenyut merasa dirinya galau, mengawang-awang antara keinginan, mimpi, dan angan-angan.
            “Hidup itu realitas hari ini, mimpi itu cita-cita yang diusahakan dari hari ini. Dan dari jaman jabot sampe sekarang, kalo mau berhasil ya harus kerja keras! Kalau nggak mau ya sudah, dilindas…”
            Erte Kacrut berlalu, mengambil wudhu. Tapi kalimat terakhirnya membuat Dul Kenyut dan beberapa orang di saung duduk terpaku. Tajam nian…

Kamis, 26 Juli 2012

Cinta Jangan Kau Pergi

Erte Kacrut beringan hati membagi cerita cintanya, silakan dinikmati, semoga menghangatkan cinta kita semua...




“Setidaknya, sampai semester dua aku masih mencintaimu…” Sri mengungkapkan dengan pipi bersemu merah, “Tapi sesudah itu, aku sangat membencimu. Sangat!”
Aku diam, memaklumkan. Karena memang begitulah yang bisa kulakukan.
“Aku bakar fotomu!”
Aku mendongak menatap wajahnya.
            “Aku benci! Benci banget sama kamu…!”
            “Ya, aku memang harus dibenci waktu itu.”
            “Kamu beri aku harapan, aku sudah berharap, kamu pergi tanpa kabar…”
            “Ya, itulah yang terjadi,”
            Perempuan itu tersenyum. Ada pahit mendalam terlihat. Aku merasai kegetirannya.
            “Aku pernah mendoakanmu jelek banget…” ucapnya sembari menahan napas beberapa saat. “Maaf ya, tapi aku sudah berdoa minta ampun.”
            “Nggak apa-apa, tanpa kamu doakan yang jelek-jelek, aku sudah jelek kok…” sahutku. Senyumku berbalas. Tidak terlalu lebar, tapi cukuplah menarik urat pipi, hingga ia tampak cantik. Seperti dulu, puluhan tahun lalu ketika aku menyukainya, mengiriminya surat dan ucapan-ucapan gombal.
            “Kamu makin dewasa…” katanya lagi.
            “Belum juga…”
            “Kamu juga pinter…”
            “Tidak juga…”
            “Aku ikut senang, melihat kamu sekarang seperti ini. Aku memaklumi yang sudah berlalu. Aku bertemu kamu, menyukaimu, menyayangimu di saat yang tidak tepat. Kamunya slenge’an banget…”
            Malam itu kami bicara panjang. Pertemuan pertama sejak puluhan tahun terlewat dengan berbalut rasa sakit hati. Aku memang mencarinya, untuk meminta maaf. Dan teknologi mempertemukan kami dalam kondisi sudah bisa saling menerima dan penuh lapang dada.
            “Kamu cantik…” ujarku setelah menyeruput kopi di sebuah kafe tak jauh dari kantornya. “Bener…” aku lanjutkan pujianku. Apalagi ketika melihat pipinya bersemu merah.
            “Ah, kamu masih aja gombal!” tampiknya.
            Kami menikmati malam itu. Serasa duniaku lapang lagi. Lepas satu beban yang bertahun-tahun mengekangku. Mendapat maaf, dimaafkan, adalah hal terindah dalam hidup. Keindahan yang sulit mencari kesetaraannya. Meminta maaf itu perlu keberanian, memberi maaf juga perlu kedewasaan.
            Malam itu, kami bertemu sebagai pribadi yang pemberani dan dewasa. Berani saling mengakui, semua saling mengaku salah, tak ada yang mau mengaku benar. Ah, betapa sebenarnya kita semua adalah pemberani yang rendah hati. Saling memuliakan. Meluluh segala kebencian yang sudah tumbuh teramat panjang. Meleleh semua dendam, menjadi cinta. Cinta dalam aras yang berbeda.
            “Maafkan aku…” hampir bersamaan kalimat itu meluncur.
            Menembus malam kuantarkan dia pulang ke rumahnya. Aku tahu ini salah, tapi lebih salah membiarkan perempuan pulang malam sendirian. Tercerita bagaimana awal mulanya kami saling jatuh cinta… Hingga tak terasa aku sampai di depan gerbang rumahnya.
            “Sampai sini aja ya…” katanya.
            Aku tertawa. Dia melotot. “Kok ketawa sih…”
            “Kayak dulu, kalau nganter nggak boleh sampe rumah,” aku tergelak.
            Senyumnya tersipu. Sambil mengibaskan tangan dia bilang, “Ah, kamu masih gombal aja…”



~ meminta maaf, memaafkan, bisa jadi cinta dan rasa sayang yang sesungguhnya… mengubur sakit hati dan dendam, bisa jadi hakikat cinta yang lebih panjang umurnya.

Rabu, 25 Juli 2012

Rindu - Aku Tertatih Mengejarmu

Rindu adalah ruang ungkap kerinduan Erte Kacrut kepada orang yang sangat dicintai dan dipanutinya, almarhumah Ibunya. Sambil menyertakan doa dan seuntai Al-Fatihah, yuk ikuti saja kisah-kisahnya yang menyentuh...


“Mam, sahur yuk…” aku membuka pintu kamarnya perlahan. Menunggu jeda bacaan tilawahnya. Ibuku pasti menengok sambil tersenyum, lalu bertanya jam berapa. Aku akan menjawabnya. Dan dia bilang, “Sebentar ya, tanggung…”
Begitulah, ada gereget ruhiyah yang lebih dalam diri ibuku setiap bulan ramadhan. Termasuk membaca Al-Quran setiap malam dan ba’da shalat-shalat sunnahnya. Ehm, aku malu dibuatnya. Terlalu laju, terlalu kencang arus menghambanya. Aku jauh sekali tertinggal…
Memasuki minggu pertama ramadhan kali ini, adalah ramadhan kedua tanpa ibuku. Tuhan yang Maha Cinta lebih suka dia berada di sisi-Nya. Semoga kebahagiaan senantiasa baginya di sana. Aku hanya punya doa, hanya doa! Tidak punya yang lainnya untuk membuatnya bahagia.
Tak ada lagi kebahagiaan kecil dengan mengajaknya berbuka dengan sirup Campolay rasa pisang susu kesukaannya. Betapa wajah itu tampak bahagia bila beduk maghrib nyaris tiba, dengan semangkuk ramuan es buah bercampur sirop khas Cirebon itu dan susu kental manis yang terhidang di meja. Wajah bahagianya akan lebih meruar bila segenap orang yang dicintainya turut duduk bersama, mengelilingi meja makan jati itu bersamanya.
Berloncatan banyak cerita…
Tentang masa kecilnya, tentang masa tak beruntungnya.
“Eh, itu sebelah udah dikasih?” pertanyaan yang selalu keluar sebelum sajian berbuka disantap bersama. ‘Sebelah’ yang dimaksudnya adalah tetangga depan dan samping rumah. Walau hanya berbagi semangkuk es campur, wajib dibaginya. Walau hanya beberapa potong gorengan, mesti dibaginya. Begitulah…
Harus berbagi…
Harus dibagi…
“Masjid udah dianterin?” pertanyaan itu sekadar mengingatkan orang rumah. Maksudnya, tajil buat buka orang-orang di masjid sudah diantar apa belum. Tak ada yang membantah, semua bergerak. Mengantarkan…
Dan…
Dia akan memasak sendiri untuk semua itu. Ya, memasak atau membuat kue untuk orang-orang yang akan dibaginya. Wajahnya tak menampak lelah. Ia akan lebih cerah bila orang dari masjid mengembalikan wadah dan teko dalam keadaan tandas. Habis tak bersisa.
“Alhamdulillah, kurang nggak?”
Ya Allah, terbuat dari apakah ibuku hingga dia begitu baiknya. Aku tertatih-tatih mengejarnya. Aku tak sepiawai dia membagi kebahagiaan kepada sesamanya. Tak sekonsinten dan terjaga sepertinya. Sungguh aku tak seujung kuku mewarisinya…
Allahummagfirlaha war hamha wa’afiha wa’fu ‘anha
Lapanglah kuburmu, Mam…