Mak Eroh bikin heboh, ia menggratiskan semua masakan di warungnya khusus hari ini. Tentu saja ada makhluk yang paling depan dan betah mengunyah sejak warung itu buka. Siapa lagi kalau bukan Dul Kenyut. Bagaimana pun pendidikan mental jangan terlalu diharapkan dari sistem belajar negeri ini. Setidaknya dalam kasus Dul Kenyut yang mahasiswa ber-IPK tiga koma ini, sama sekali tidak punya sensitivitas ‘rasa cukup’ dan ‘sangat sensitif’ terhadap sesuatu yang berlabel ‘gratis’ dan ‘gratisan’.
Erte Kacrut sedang
menjemur sarung ketika pemuda pintar ini datang dengan perut kekenyangan. Tahu
kan bagaimana rasanya kekenyangan?
“Kenapa lu,
kekenyangan?” tanya si erte sambil senyum sinis.
Dul Kenyut tidak
menjawab, hanya mengangguk dan mringis-mringis. Kemudian duduk menyender dengan
kaki selonjor dan kepala mendongak. Napasnya berat, perutnya berasa nggak enak.
Erte Kacrut datang
sambil membawa secangkir kopi yang aromanya aduhai, sepiring pisang goreng yang
bikin air liur Dul Kenyut ngences, dan entah makanan apa dalam kotak yang belum
dibuka isinya.
“Lagi? Enak nih…”
Erte Kacrut menawari Dul Kenyut sambil mengedik-ngedikkan kelopak matanya.
Ngeledek…
Dul Kenyut
menggeleng meski matanya masih kepengen dan liurnya terus tergiur. Enak banget
kayaknya… Apalagi melihat ertenya tampak lahap, kemudian seruputan kopinya juga
berasa nikmatnya.
“Pengen, tapi dah
kenyang…” lirih suara Dul Kenyut menyela kenikmatan gigitan terakhir pisang
goreng kiriman Mak Eroh tadi pagi.
“Perut itu kan ada
kapasitasnya, Dul! Lu kan lebih pinter soal ginian, kayak tengki motor atau
metromini, ada kapasitas muatnya… kalau kelebihan ya enek! Metromini juga gitu
kan, kelebihan penumpang enek… Apa pun yang berlebihan pasti bikin enek!”
Dul Kenyut nyengir.
“Lagian lu nggak
ada bedanya sama orang yang nggak makan sekolahan sih, kalau dengar gratisan
ngiprit paling duluan. Nggak malu sama yang ngasih gratisan. Mak Eroh yang
nggak sekolah tinggi, duitnya nggak banyak, dan kerjaannya cuma ngewarung aja
mau berbagi, lha lu malah kebalikannya…” kata Erte Kacrut menyeling dengan
seruputan kopinya, “Maunya gratisan mulu…”
“Gratisan itu enak,
Te!” kilah Dul Kenyut.
“Berbagi itu lebih
mulia,” kata Erte Kacrut.
Dul Kenyut nyengir
lagi sambil megangin perut. Ia sudah tahu, sebentar lagi pasti ertenya bakal
ngomong, “Berbagi itu puncak cinta, siapa yang dalam dirinya sudah sublim
mental berbaginya, dialah pecinta sesungguhnya, dia akan menikmati dunia dan
seisinya…”
“Lu nggak malu sama
Mak Eroh? Dia bisa memaknai hari ibu dengan cerdasnya. Berbagi apa yang dia
bisa dan dia punya. Karena dia tahu, kemuliaan sedang ia bangun dengan hal yang
sangat sederhana. Bukan dengan pidato surga di telapak kaki ibu, bukan dengan
lomba konde anti badai, apalagi cuma membebaskan ibu sehari itu nggak
ngapa-ngapain…”
Dul Kenyut
lagi-lagi cuma nyengir, gratisan di perutnya seperti baling-baling bambu Dora
Emon yang masih muter dan lupa dimatiin. Melilit-lilit…
“Belajar lah dari
Mak Eroh, dia mengajari kita memberi, dia memberi contoh kita berbagi,
dia tidak mewariskan mental miskin dalam kemiskinan yang juga dia jalani. Ia
merasa berdaya dengan memberi, mulia dengan berbagi…”
Suara Erte Kacrut
tiba-tiba parau, matanya menggenang air. Terkenang ia akan ibu yang sangat
dicintainya. Khusyu dalam diam ia antarkan doa… semoga lapang kuburmu, semoga diampuni dosamu, semoga dimaafkan
kesalahanmu, dan semoga di surga tempatmu… Amin.
Diam-diam Dul
Kenyut pun berbagi, embusan angin yang tak tahan lagi dia tahan. Hiks, maafkan daku, Te, gumannya sambil
berlari kencang ke arah jamban!