Rabu, 21 Desember 2011

Cintaku Padamu...


Mak Eroh bikin heboh, ia menggratiskan semua masakan di warungnya khusus hari ini. Tentu saja ada makhluk yang paling depan dan betah mengunyah sejak warung itu buka. Siapa lagi kalau bukan Dul Kenyut. Bagaimana pun pendidikan mental jangan terlalu diharapkan dari sistem belajar negeri ini. Setidaknya dalam kasus Dul Kenyut yang mahasiswa ber-IPK tiga koma ini, sama sekali tidak punya sensitivitas ‘rasa cukup’ dan ‘sangat sensitif’ terhadap sesuatu yang berlabel ‘gratis’ dan ‘gratisan’.
Erte Kacrut sedang menjemur sarung ketika pemuda pintar ini datang dengan perut kekenyangan. Tahu kan bagaimana rasanya kekenyangan?
“Kenapa lu, kekenyangan?” tanya si erte sambil senyum sinis.
Dul Kenyut tidak menjawab, hanya mengangguk dan mringis-mringis. Kemudian duduk menyender dengan kaki selonjor dan kepala mendongak. Napasnya berat, perutnya berasa nggak enak.
Erte Kacrut datang sambil membawa secangkir kopi yang aromanya aduhai, sepiring pisang goreng yang bikin air liur Dul Kenyut ngences, dan entah makanan apa dalam kotak yang belum dibuka isinya.
“Lagi? Enak nih…” Erte Kacrut menawari Dul Kenyut sambil mengedik-ngedikkan kelopak matanya. Ngeledek…
Dul Kenyut menggeleng meski matanya masih kepengen dan liurnya terus tergiur. Enak banget kayaknya… Apalagi melihat ertenya tampak lahap, kemudian seruputan kopinya juga berasa nikmatnya.
“Pengen, tapi dah kenyang…” lirih suara Dul Kenyut menyela kenikmatan gigitan terakhir pisang goreng kiriman Mak Eroh tadi pagi.
“Perut itu kan ada kapasitasnya, Dul! Lu kan lebih pinter soal ginian, kayak tengki motor atau metromini, ada kapasitas muatnya… kalau kelebihan ya enek! Metromini juga gitu kan, kelebihan penumpang enek… Apa pun yang berlebihan pasti bikin enek!”
Dul Kenyut nyengir.
“Lagian lu nggak ada bedanya sama orang yang nggak makan sekolahan sih, kalau dengar gratisan ngiprit paling duluan. Nggak malu sama yang ngasih gratisan. Mak Eroh yang nggak sekolah tinggi, duitnya nggak banyak, dan kerjaannya cuma ngewarung aja mau berbagi, lha lu malah kebalikannya…” kata Erte Kacrut menyeling dengan seruputan kopinya, “Maunya gratisan mulu…”
“Gratisan itu enak, Te!” kilah Dul Kenyut.
“Berbagi itu lebih mulia,” kata Erte Kacrut.
Dul Kenyut nyengir lagi sambil megangin perut. Ia sudah tahu, sebentar lagi pasti ertenya bakal ngomong, “Berbagi itu puncak cinta, siapa yang dalam dirinya sudah sublim mental berbaginya, dialah pecinta sesungguhnya, dia akan menikmati dunia dan seisinya…”
“Lu nggak malu sama Mak Eroh? Dia bisa memaknai hari ibu dengan cerdasnya. Berbagi apa yang dia bisa dan dia punya. Karena dia tahu, kemuliaan sedang ia bangun dengan hal yang sangat sederhana. Bukan dengan pidato surga di telapak kaki ibu, bukan dengan lomba konde anti badai, apalagi cuma membebaskan ibu sehari itu nggak ngapa-ngapain…”
Dul Kenyut lagi-lagi cuma nyengir, gratisan di perutnya seperti baling-baling bambu Dora Emon yang masih muter dan lupa dimatiin. Melilit-lilit…
“Belajar lah dari Mak Eroh, dia mengajari kita memberi, dia memberi contoh kita berbagi, dia tidak mewariskan mental miskin dalam kemiskinan yang juga dia jalani. Ia merasa berdaya dengan memberi, mulia dengan berbagi…”
Suara Erte Kacrut tiba-tiba parau, matanya menggenang air. Terkenang ia akan ibu yang sangat dicintainya. Khusyu dalam diam ia antarkan doa… semoga lapang kuburmu, semoga diampuni dosamu, semoga dimaafkan kesalahanmu, dan semoga di surga tempatmu… Amin.
Diam-diam Dul Kenyut pun berbagi, embusan angin yang tak tahan lagi dia tahan. Hiks, maafkan daku, Te, gumannya sambil berlari kencang ke arah jamban!


Selasa, 20 Desember 2011

Galau!


Dul Kenyut nggak bisa tidur, tumben banget…
            Biasanya begitu ketemu bantal di saungnya Erte Kacrut terus saja merem dan mendengkur.  Apalagi kalau semua atribut perang melawan nyamuk dan dingin sudah dikenakan, kaos kaki, sarung, udeng-udeng (penutup kepala oleh-oleh dari Erte Kacrut waktu study tour ke Jogja), dan tentu saja nyalain obat nyamuk.
            “Kenapa luh, galau?” tegur Erte Kacrut yang tampaknya baru saja dari sumur.
            Dul Kenyut cuma tersenyum nggak menyahut. Hmm, orang ini nggak tahu diri amat ya… batinnya, dia yang bikin gue nggak bisa tidur malah sekarang seenaknya ngatain kalau gue galau!
            “Makanya baca doa, sembahyang tahajud, biar semua keinginan lu kesampaian… pengen dapat kerjaan, jodoh, jadi orang terpandang, dihargai orang, dihormati orang, disanjung-sanjung orang. Pokoknya cita-cita lu supaya eksis kesampaian dah! Gue bantuin amin-nya aja deh!” Erte Kacrut nyerocos sambil ngelap muka pakai kaosnya hingga pusernya kelihatan.
            Dul Kenyut hanya melenguh…
            Enteng aja lu ngomong, batin Dul Kenyut lagi, semakin banyak omong, semakin gue nggak bisa tidur nih! Dul Kenyut hanya bisa protes dalam hati, tidak berani ngomong langsung. Ah, padahal Erte Kacrut orang yang paling nggak seneng kalau diomongin di belakang, atau kalau ada masalah dengan dirinya nggak mau ngomong. Jangan-jangan nanti dia juga dianggap Brutus sama Erte Kacrut karena hal ini. Karena menurut Erte Kacrut, Brutus yang membunuh Raja Caesar itu simbolik!
            Entahlah bagaimana dalilnya, erte sableng itu menafsirkan simbolisasi pembunuhan dalam kasus Brutus. Katanya sih, Brutus itu semacam nafsu juga. Sejenis nafsu berkuasa, keinginan untuk eksis juga, dan kegalauan orang-orang di sekitar kekuasan yang merasa lebih bisa memimpin dari pemimpinnya sekarang. Lalu sedemikian rupa, melakukan konspirasi untuk secara individu ataupun kolektif, menjerumuskan pemimpinnya dalam suasana simalakama.
            Nah inilah yang bikin Dul Kenyut nggak bisa tidur…
            Simalakama.
            “Lu kan nggak pernah mikir Dul, secara paksa telah mengambil bahkan merampok tanpa sisa semua yang privat dari gue! Untuk menjadi pemimpin, semua itu sudah diambil dan apa yang melekat dalam diri yang bersangkutan menjadi milik publik. Kalau orang biasa punya 24 untuk urusan dirinya, seorang pemimpin, seperti erte macam gue, 24 jam atau mungkin separonya sudah diambil semuanya buat urusan publik…”
            Dul Kenyut mikir, iya yah, ertenya kehabisan waktu untuk dirinya. Padahal seperti yang lain, dia juga harus kerja, harus memenuhi hajatnya, dan mesti memiliki ruang privat seperti dirinya yang kebanyakan waktu hanya untuk diri sendiri. Urusan warga jadi hal yang tak pernah lepas dari dirinya, dari melek mata sampai merem.
            “Lu nggak pernah mikir kan Dul yang kayak gitu… dan seenaknya aja kalau ada yang nggak beres lu nuduh-nuduh gue nggak amanah lah, kepemimpinan gue payah lah… lu ngasih apa buat gue? Emang Erte digaji, dikasih fasilitas seperti pejabat? Sehingga bisa kasih semua waktunya untuk ngurusin ini semua tanpa bingung mikirin bakul nasi, bayar listrik, kondangan, trus nanggung hidup lu juga…” Wajah Erte Kacrut tiba-tiba serem banget di hadapannya, “Waktu yang gue punya sama Dul! Dan udah diambil semua untuk ngurusin elu pada, tapi gue harus bersiasat supaya gue juga tetap hidup, tetap bisa makan tanpa meminta-minta, tetap bisa hidup normal…”
            Ehm, Dul Kenyut merasa ada yang mengiris hatinya. Jujur saja ia merasa nyaman jadi orang dekatnya Erte Kacrut. Dia dapat banyak kemudahan, kecipratan makan enak kalau ertenya diundang ke mana-mana, dapat duduk paling depan, ikut dihormati orang, dapat diskon makan dan ngopi di warung Mak Eroh… ah! Dul Kenyut takut kalau semua itu tiba-tiba tercabut dan tidak ia dapatkan lagi…
            Tiba-tiba Dul Kenyut merasa ia menjadi Brutus…
            Dialah yang memaksa agar ertenya terus menjadi erte di Kampung Kacrut sepanjang hayat. Kasak-kusuk dengan warga agar tidak ada yang menggantikannya. Dul Kenyut sama sekali tidak pernah berpikir, ertenya telah ia rampok kebebasannya dan waktunya!
             Dul Kenyut makin galau…

Senin, 19 Desember 2011

Bodo Amat!

        ”Emang gue pikirin...”
Erte Kacrut menyahut enteng sambil menyeruput kopi buatan Mak Eroh yang hari ini kelihatan cantik dengan sanggul khatulistiwanya! Waktu diledek Erte Kacrut yang katanya ngikutin Syahrini, Mak Eroh malah menganggap penyanyi itulah yang meniru sanggulnya. Bedanya Syahrini mengemasnya dalam bungkus entertain yang lebih menjual, kilah perempuan setengah baya sambil menggoreng ikan masuk angin! Kok? Iya, ikan kembung kesukaannya Erte Kacrut...
”Kok gitu Te, nggak bisa dong...” sergah Dul Kenyut, ”Jangan sewenang-wenang kalau jadi pemimpin!”
”Eh, gue bilangin ya mahasiswa pinter...” sambut Erte Kacrut sambil meletakkan cangkirnya ke pisin. ”Jangan lu anggap, yang sewenang-wenang itu pemimpin aja. Di sini banyak juga orang-orang yang sewenang-wenang sama pemimpinnya!”
Dul Kenyut mengernyit keningnya. Mahasiswa yang IPK-nya tiga koma dan masih nganggur itu agak lemot mencerna omongan ertenya. Omongan yang kudu dikunyah sampai lembut benar biar nggak bikin masalah di pencernaan.
”Gue yakin semua pemimpin itu iktikadnya baik... bahkan ketika ia nggak mau lagi jadi pemimpin juga pasti tujuannya baik...”
”Mana ada orang mundur dengan tujuan baik, Te...”
”Ya ada, pemimpin itu mikir apa yang nggak ada dipikirannya yang dipimpin, ketika yang dipimpin tahu, pemimpinnya dah tahap eksekusi, ketika yang dipimpin ngeh, pemimpinnya dah jauh mikir yang lain lagi... udah mengeksekusi yang lain lagi juga!”
Sambil masukin potongan mendoan terakhirnya, tetap saja Dul Kenyut berkerut. Benar-benar harus dikunyah lembut omongan ertenya kali ini. Heran, lulusan sekolah mana sih erte begini...
”Jangan cuma ngelihat pemimpin itu zalim, sewenang-wenang... banyak pemimpin yang adil, yang baik,  yang tahu kapan dia naik kapan dia turun dan menyelesaikan tugasnya. Pemimpin kayak gini banyak, cuman nggak seksi aja buat berita, sehingga nggak pernah ada di tivi, di koran atau di majalah...”
Baru kali ini Dul Kenyut melihat ertenya bicara sangat serius. Seumur-umur kenal, Erte Kacrut lebih cenderung memperlihatkan wajah smart yang rileks. Tapi kali ini seperti ada aksentuasi tertentu untuk beberapa hal. Kelihatannya dia sangat serius...
”Banyak juga rakyat yang sewenang-wenang, Dul... aparat dan pengurus erte yang juga sewenang-wenang. Mereka dengan sadar atau tidak sadar semena-mena melampirkan label negatif, kata-kata makian, dan umpatan yang luar biasa bengis kepada kesalahan pemimpinnya. Atau malah bukan kesalahan pemimpinnya, tapi semata-mata karena kekhawatiran dirinya. Karena dia bingung kepada siapa dia mengumpat untuk keegoisannya, untuk kebodohannya sendiri karena dia tidak bisa mengendalikan dirinya... banyak Dul orang macam begini...”
Dul Kenyut termangu. Ini serius. Ertenya sedang waras, membenturkan logika dan realitas ke hadapannya.
”Jangan-jangan lu juga khawatir Dul kalau gue nggak jadi erte!”
Ups! Dul Kenyut gelagapan ditembak omongan ertenya.
”Mak Eroh sayang, mulai hari ini Dul Kenyut jangan dikasih diskon kalau ngopi di sini...” ujar Erte Kacrut sambil melangkah dari bangku. ”Dia harus bayar sendiri, masak mahasiswa lulus dengan IP tiga bokeknya permanen...”
Dul Kenyut mukanya kecut! Matanya melihat langkah ertenya yang kian menjauh. Dan ketika menengok ke Mak Eroh, tangannya sudah menengadah meminta bayaran. Duh, mati gue, batinnya. Mana hari ini dia makan banyak banget... hiks!

Senin, 05 Desember 2011

Jatuh Cinta



           Erte juga manusia, walaupun Erte Kacrut termasuk jenis manusia langka. Jadi kalau Erte Kacrut jatuh cinta ya bisa saja. Nah, yang jadi persoalan itu adalah bagaimana bisa, sebab musabab, dan pada perempuan tipe bagaimana si erte itu bisa jatuh cinta…
            Dul Kenyut ketawa panjang. Ngakak sampai bikin kucing di warung Mak Eroh bengong dan bingung ngeliatinnya. Dikira orang kesambet, tapi malah lebih mirip orang kesurupan. Dikira gila, tapi waras wong IPK-nya 3. Herannya, ketawa kok nggak ada koma, titik, dan tanda-tanda berhentinya.
            Kopi di gelas Erte Kacrut tinggal setengah dan nggak ngebul lagi. Dul Kenyut terhenyak ketika dia menoleh sudah nggak ada Erte Kacrut yang tadi duduk di sebelahnya. Ah, bisa celaka nih, batinnya. Kualat akhir tahun bisa terjadi karena dia tadi ngetawain juragannya.
            ”Erte ke mana, Mak?” tanya Dul Kenyut. Matanya pecicilan mencari-cari hingga ke kolong meja. Alhasil dia dipelototin sama kucing, karena dianggap mau ngambil kepala ikan kembung yang barusan dikasih sama Mak Eroh.
            ”Mana tauuu...” jawab Mak Eroh cuek sambil ngebolak-balik sayur kacang panjang di wajan.
            ”Waduh... celaka ini...”
            ”Weit, jangan lari ya, jangan ngutang... tadi ertemu dah ngutang tuh!” kata Mak Eroh yang mukanya tiba-tiba sudah berada di hadapan Dul Kenyut yang kebingungan. ”Nggak ada alasan, harus bayar...”
            Mau nggak mau, Dul Kenyut mengeluarkan duit recehnya dari kantong celananya yang terdalam. Pas, tiga ribu perak! Uang sisa kembalian fotokopian undangan Muharaman dari pengurus masjid, ”Sisanya ambil ajah!”
            Kesimpulan pertama dari Dul Kenyut adalah, bila Erte Kacrut jatuh cinta, bikin sulit dirinya. Bikin dia terlantar dan tak ada lagi traktiran.
            ”Ya iya lah, mending buat nraktir cewek gue dong!” tiba-tiba Erte Kacrut datang ketika baru saja Dul Kenyut membayar kopinya. Nyesel banget dia buru-buru ngeluarin duitnya buat Mak Eroh.
            Kesimpulan kedua dari Dul Kenyut adalah, bila Erte Kacrut jatuh cinta, bakalan bikin cemburu dirinya, pasti waktunya buat ngobrol bakal kurang.
            ”Ya iya lah, mending buat ngobrol sama cewek gue, lebih aduhai...!” kata Erte Kacrut sambil mengedip-ngedipkan matanya kayak orang cacingan. Ugh, bener kan, pasti juga bakal banyak hal terbengkalai nih... batin Dul Kenyut terus berprasangka.
            ”Ya iyalah, jatuh cinta itu urusan serius... lebih serius dari ngurusin kampung, negara, bahkan kaum duafa...” kata Erte Kacrut mengikuti arus pikiran Dul Kenyut.
            ”Berarti jatuh cinta bikin pimpinan jadi nggak amanah dong, waktunya tersita untuk urusan cinta, mengabaikan banyak kewajiban yang menyangkut hajat khalayak...” tuduh Dul Kenyut menggebu.
            ”Hai anak muda, jatuh cinta itu energi... mengurusi orang banyak itu butuh ekstra energi, memikirkan orang banyak itu butuh ekstra energi, mengelola kemauan orang banyak itu butuh ekstra energi dan menahan hati agar tidak roboh karena ketidakpuasan orang banyak juga butuh energi. Tuduhanmu itu adalah cermin cemburumu yang mentah! Semua belum terjadi, tapi kamu sudah menuduh bahkan memastikan seolah itu benar. Apakah yang kamu tuduhkan dan kekhawatiranmu sudah terjadi?”
            Begitu kata terakhir terucap, Erte Kacrut menyeruput sisa kopi yang sudah dingin. Lalu bergegas langkah sambil bersiul lagunya Ayu Ting Ting... Dul Kenyut masih serasa ditempelengi, kalimat Erte Kacrut berulang kali mengiang di telinganya. Seperti bunyi nyamuk... terus mengiang dan mengganggu. Hingga dia tak berani menyimpulkan lagi... 

Minggu, 27 November 2011

Cukup Tanda Tak Mampu?


            Saya teringat Sersan Daslan Cukup, salah satu tamtama AL yang ikut dalam kompetisi stand up comedy di sebuah televisi. Gayanya lugas, khas Jawa Timuran, dan meski ceritanya sudah sangat generik. Lawakan lama, banyak di google... Tapi yang membuat saya terkesan ketika dia menyebut namanya tiga kali setiap kali opening dan mengakhiri pementasannya.
            ”Cukup... Cukup... Cukup...”
            Ya begitulah kalimat ajaib Pak Sersan di kontes stand up comedy yang konon pertama kali di Indonesia. Meski saya sudah mengenal beberapa nama stand up comedian di Indonesia beberapa tahun sebelumnya. Radio SK yang sudah almarhum adalah salah satu radio yang dulu produktif melahirkan komedian. Hampir semua komedian yang sekarang tampil di tivi, sebagian besar pernah singgah di radio yang tag-nya, radio senyum dan ketawa itu.
            Ada almarhum Taufiq Savalas, komedian stand up yang keren. Lalu Iwel Sastra yang kini punya program di tivi swasta juga seorang komedian stand up awal di jagat hiburan. Dan tentu banyak lagi, apalagi kalau kita lihat pidato pejabat dari level tertinggi, sampai KW-1, 2, 3-nya. Merekalah sejatinya komedian stand up yang paling lucu. Soal konten, tahu sendirilah. Tergantung posisi dan isunya.
            ”Cukup... Cukup... Cukup...”
            Kesederhanaan dan kelugasan Pak Sersan ini benar-benar menggoda saya. Saya tergoda untuk menirukan ucapannya. Walaupun agak sulit menirukan persisnya. Tapi saya yakin, kefasihan karena sebuah usaha intensif. Maka saya sekarang pun mulai sering berucap, ”Cukup!” Awalnya tidak terlalu sering, tapi semakin ke sini, semakin sering. Alah bisa karena biasa, maka saya pun mulai terbiasa mengucap, ”Cukup...”
            Interpretasi saya sebagai orang goblog, kata ’cukup’ tidak dimiliki banyak orang. Karena kebanyakan orang memilih mengoleksi kata ’kurang’ dan ’lagi’. Dalam skala terkecil, suami bisa komplain karena sayur masakan istrinya ’kurang’ garam. Atau ketika membuatkan teh atau kopi ’kurang’ manis. Dan ketika dimasakan rada enak, selalu bilang ’lagi’, kalau tehnya enak bilang ’lagi’, kopinya kental dibikinkan pakai cangkir bilangnya, ”Kurang, lagi dong...”
            Pilihan untuk ’cukup’ memang tidak mudah. Bisa jadi kita merasa ’cukup’, tapi pihak lain mendorong untuk ’lagi’. Atau ada pihak yang merasa ’kurang’ sehingga harus diteruskan. Dorongan dan pengaruh dari luar diri inilah yang sering membuat seseorang berada di altar dilematis. Hidupnya disetir orang banyak di sekelilingnya, karena ’kurang’ dan ’lagi’ itu.
            ”Cukup... Cukup... Cukup...”
            Pak Sersan membawa saya pada sebuah keberanian. Untuk secara sadar mengukur diri dan kemampuan. Tidak selamanya seseorang cocok di segala zaman. Sejarah dengan kejam menelan dan menenggelamkan torehan sejarah cemerlang. Semata-mata ketidakpekaan seseorang meniti zamannya. Hanya orang goblog yang mengulang kebodohan sejarah.  Dan saya tidak mau. Maka sebelum saya kadaluarsa, saya harus berani bilang, ”Cukupkan saya sampai di sini...” 

Senin, 14 November 2011

Ocehan Erte Kacrut # 10



 Habis bulan Syawal bukan berarti habis lebaran di Kampung Kacrut. Bagi warganya Erte Mbambung, lebaran adalah hal yang bisa diciptakan kapan saja. Kalau ertenya nggulung sarung, naikin lengan baju, dan bikin aba-aba… Ya, lebaranlah orang-orang sekampung Kacrut. Hari Senin puasa, besok lebaran ya, bisa! Bagaimana kalau Jumat saja, kan itu hari paling istimewa. Siap…
Kok bisa ya…
“Ya, bisa! Apa sih yang nggak mungkin… Allah itu memberikan beribu-ribu kemungkinan sepaket dengan jalan menuju kemungkinan itu…” katanya pada Dul Kenyut, mahasiswa ber-IPK tiga, tapi masih betah menganggur. Mungkin harus dibikin spanduknya tuh, menganggur adalah jalan menuju sukses. Atau spirit lain, “Sukses dengan menganggur” Terus dibikin modul pelatihannya, trainingnya, konsultasi online-nya. Wah, bisa jadi lapangan kerja baru… Trainer-nya kan sudah pengalaman semua!
Sekembali dari halal bihalal dengan bupati dan perangkatnya, sama sekali nggak ada roman senang, bahagia, atau yang cerah-cerah pada erte kacrut. Padahal acara dan tempatnya dipuji banyak orang. Inilah erte edan, begitu banyak pujian, begitu cepat dia pergi. Mending cari belut di sawah. Buat pepes, bisa buat makan sambil reriungan.
“Standar, nggak ada yang baru…” kata Erte Mbambung ketika dimintai tanggapannya oleh Dul Kenyut soal programnya bupati.
“Kan bagus, Te, ada katepe berbasis tabungan…”
“Harusnya persoalan kayak gitu sudah selesai setahun atau dua tahun begitu kabupaten ini berdiri, Dul! Sekarang tanah lahirmu ini, sudah berapa umurnya… masak urusan katepe nggak kelar-kelar sampai berapa kali ganti bupati… gimana mau ngurusin yang lain…”
“Iya, ya, Te… soal katepe ribet aja! Puluhan tahun nggak kelar… kenapa jadi soal angkanya ya, bukan kemampuan daya saing masyarakatnya…”
“Ini soal kemauan dan leadership, Dul!” katanya sambil ngupil.
 “Iya Te, nggak penting banget, nggak substansial…”
Erte Mbambung berlalu menuju warung Mak Eroh. Nggak tahu ngomong apa, tiba-tiba Sumi –asistennya Mak Eroh- pergi membawa tas belanja mbonceng ojek. Dul Kenyut masih sempat menikmati Sumi melambaikan tangan. Tapi kiss bay-nya nggak kebagian, mungkin sudah diambil semua sama erte kacrut.
Benar saja, selepas ashar toa mushola meraung-raung. Isinya pengumuman bahwa nanti sore, habis maghrib mau lebaran. Makan bareng di saungnya Erte Mbambung.
“Emang lebaran apa, Te?”
“Lebaran Kebodohan…” jawabnya enteng.
Lagi-lagi Dul Kenyut diberi pekerjaan rumah menerjemahkan kalimat erte kacrut. Mau nggak mau harus mau. Karena nanti pada saat acara, pasti dia suruh menjelaskan. Alasannya? Karena dia mahasiswa ber-IPK tiga dan belum ada kerjaannya. Nah, anggapan erte kacrut begitulah caranya memberi Dul Kenyut pekerjaan sesuai dengan kapasitasnya.
Saat Dul Kenyut bingungnya bukan main, erte kacrut malah main futsal sama anak-anak TPA. Edan! Ada yang mau bantu Dul Kenyut?

Ocehan Erte Kacrut # 9



Erte Mbambung lagi cengengesan ketika emsi dari kantor kecamatan mendaulatnya untuk ke mimbar. Kepala orang sudah lelongokan, mencari dan mencoba balapan melihat, mana wajah erte kacrut yang sangat tidak ganteng itu. Dasar erte kacrut, bukannya buru-buru ke mimbar, malah ikut celingukan bareng orang banyak.
Solidaritas! Ikut irama rakyat!
Irama yang seharusnya diikuti para pemimpin. Karena menurutnya, sefals-falsnya irama rakyat, jauh lebih enak dijogeti. Daripada ajib-ajib dengan hentakan irama sendiri. Dan begitu erte kacrut metungul, memperlihatkan dirinya, baru berdiri, tepuk tangan ramenya ngalahin pasar kebakaran.
”Wah, selebritis bener nih...” ujar seseorang.   
”Lu kata burung dara mau diadu kali ya, pake ditepokin segala,“ Erte Mbambung menggumam sambil jalan dan menaikkan celananya yang melorot. Rupanya, puasa ramadhan cukup efektif mengempeskan perutnya...
           Berikut kutipan pidato erte kacrut, lengkap banget tanpa edit dengan segala kenorakan dan cengengesannya. Dari pertama megang mikropon sampai lupa menaruh mikropon.

Bismillahirahman nirahiiimm...
Assalamu’alaikum warrahmatullahi wa barakatuhu.
Alhamdulillah wa syukurillah, segala puji syukur atas segala nikmat yang melimpah ruah di majelis yang indah ini. Majelis yang mengumpulkan banyak daya hidup, daya kritis, dan daya saling menasehati satu dan lainnya. Sebuah majelis yang insya Allah bakal meruahkan banyak ilmu dan mencerdaskan orang-orang yang duduk bersama di sini. Amin...
Shalawat serta salam, semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Saw, teladan segala zaman, beserta para kerabat tercintanya, sahabat terbaiknya dan tentu saja para pengikut yang istiqamahnya tiada tara.
Sebagai ahlul bait alias tuan rumah, sebenarnya hanya dua hal penting yang tidak boleh dilupakan dan harus disampaikan dalam pidato penyambutan. Pertama, ucapan terima kasih, kepada semua yang telah hadir di tempat yang sederhana ini, inilah hasil maksimal ahlul bait yang bisa persembahkan.
Tempat yang sangat sederhana... (ehm, erte kacrut berdehem) tapi bukan tanpa alasan tempat ini menjadi pilihan. Harapannya, para tetamu yang kami muliakan, bisa merasai suasana kampung yang tentram, suasana batin dan ruhani yang jernih dan segar, sehingga apa pun nanti suasana diskusi dan pertemuan ini, hasilnya adalah permufakatan yang elegan dan tabayyun  yang melegakan bagi para hadirin...
Kedua, kewajiban tuan rumah adalah memohon maaf bila ada yang kurang berkenan, mungkin saja penyambutannya yang kurang asoi karena diiring tabuhan Kipli Band… Namun, tetabuh tukang topeng monyet itu adalah bentuk suka cita dan ketulusan, karena saudara Kipli dan monyetnya sangat ingin berperan serta dalam kebahagiaan ini dengan apa yang bisa dilakukannya... Sebagai sampahnya masyarakat, saya harus mengapresiasi segala bentuk kreativitas warga. Soal tafsir saya tidak ikut-ikutan karena sangat subjektif tergantung kecerdasan, keluasan wawasan, dan tentu saja kepentingan...  kepala sama botak  dalam hati siapa tahu penyakitan...
Juga bilamana nanti sampai ujung acara ada perihal yang kurang nyaman, saya berbangga hati menyediakan maaf sebanyak-banyaknya. Silakan saja diambil sesukanya, sekuat-kuatnya, sebanyak-banyaknya... Produksi maaf saya, masih lumayan tinggi dan produktif sekali.
Terakhir, saya melihat pertemuan ini sangat istimewa. Karena saya melihat banyak tamu istimewa yang sudah kesohor namanya, namun baru hari ini saya dapati senyum manisnya... Selamat datang dan terima kasih atas kehadiran Bupati dan para petinggi. Semoga ini adalah tempat terakhir untuk sosialisasi program pembangunan yang sudah dicanangkan. Karena saya berpikir, kalau ini adalah tempat yang pertama untuk melakukan sosialisasi itu, saya tidak bisa memastikan kapan eksekusi program itu bisa dilaksanakan. Mengingat begitu luasnya wilayah kabupaten ini... Semoga demikian, karena bila tahun kedua baru sosialisasi, tahun ketiga masih sosialisasi, sementara tahun keempat baru mau eksekusi, padahal sudah waktunya suksesi... pasti repot sekali....
Demikian saja sambutan saya, masih banyak acara lainnya. Cukup sedikit saja, tapi mengena, dari pada terlalu panjang tapi sulit dicerna. Bila ada yang menyengat telinga, anggap saja ini pemanasan untuk diskusi selanjutnya...
Billahi taufiq wal hidayah
Wassalamu’alaikum warrahmatullahi wa barakatuh...

Hadirin menjawab salam sambil mengulum senyum. Erte kacrut meninggalkan mimbar sambil membawa mikropon. Hingga sang emsi gelagapan mengejar sang tuan rumah. Sebuah hiburan gratisan yang bikin hadirin terpingkal geli.
Bagi Dul Kenyut itu sih sengaja dilakukan erte kacrut... Dia cukup bijaksana untuk mengalihkan perhatian hadirin dari wajah-wajah yang mulai memerah, walau berusaha untuk senyum ramah...

Ocehan Erte Kacrut # 8


             Dasar erte kacrut, dia berlagak cuek aja ketika tamu penting pada datang. Padahal mereka adalah orang-orang pentingnya Bupati. Setelah salaman, Erte Mbambung malah main tebak-tebakan sambil cekakakan dengan warganya dan warga erte lain yang datang bergantian. Rasanya susah nyari orang yang nggak nyengenges kalau ketemu erte kacrut itu.
            Hingga akhirnya, Erwe Kancil dan stafnya yang pecicilan nyambut orang-orang penting. Ketika Dul Kenyut menyatakan keheranannya, enteng aja jawaban erte kacrutnya itu.
            “Sekarang tugasnya ahlul hajat, tugas kita sebagai ahlul bait udah selesai dengan menyiapkan tempat ini dan segala fasilitas yang bisa dinikmati… monggo…” ujarnya sambil minta diseduhin kopi sama Sumi, staf khususnya Mak Eroh yang turut serta dalam rombongannya erte kacrut.
            Orang-orang terus berdatangan. Erte Mbambung memang berkomitmen tinggi untuk menyediakan tempat yang layak dan pantas untuk hajatan ini. Intinya, tamu-tamu yang hadir harus nyaman, tidak kehujanan dan bisa piknik sekeluarga sekalian. Siapa tahu, ada yang nggak sempat piknik kayak dirinya waktu lebaran kemaren.
            Urusan berapa bayarnya, berapa uang sewanya, itu aurat! Nggak boleh diperlihatkan pada orang lain. Cukup kalangan terbatas, sebagai bukti akuntabilitas dirinya sebagai erte. Sejauh ini, nggak ada yang protes dan keberatan, karena memang timbangan maslahat, faedah, dan manfaatnya lebih banyak dari sekadar isu kacangan tentang pencitraan atau wah-wahan...
            “Udah beres,” begitu jawabannya setiap kali ditanya.
Rumusnya Erte Mbambung soal anggaran sederhana banget, pantas dan bisa dipertanggungjawabkan. Pantas berarti tidak mengada-ada, sesuai kebutuhan dan fungsinya. Bisa dipertanggungjawabkan, wong ada itung-itungannya. Jelas! Wong pelit, bakil, koret itu juga dibenci agama. Menyiksa diri sendiri, mempersulit diri sendiri apalagi orang lain juga nggak boleh sama agama. Begitu dia kutip omongannya Ustadz Jupri.
            Dan memuliakan tamu itu kebalikan dari berlaku koret dan medit itu… Ya otomatis, erte kacrut bakal milih yang itu. Maka sebuah saung menghadap danau nusantara di pilihnya. Biar semua pada senang, biar pikirannya pada terang, dan kalaupun ada yang panas, tinggal cuci muka pakai air danau atau kalau masih kepanasan ya nyebur sekalian…
            Dul Kenyut juga sebenernya masih penasaran sama keputusan erte kacrut yang mengagumkan itu. Tapi ya memang begitulah dia, das des das des, lugas dan apa adanya. Jadi agak saru dan nggak sopan juga kalau masih bertanya ada apa di balik ini semua. Tapi erte kacrut sendiri sangat terbuka kok, bahkan sering dia minta dikoreksi setiap tindakannya.
            “Nggak puas, bisa dibalikin…” begitu dia tiap kali ada warga yang tidak puas dengan tindakan dan keputusannya. “Semua pertanyaan ada jawabannya, semua ada penjelasannya…”
            Mantep dah! Dul Kenyut bakal nanya kalau pas waktunya. Ini etika yang dia serap dari juragannya juga, nanya juga ada waktu dan tempatnya. Jangan asal, nggak tahu tempat, nggak tepat waktu. Orang lagi shalat ditanya, mentang-mentang mau jadi makmumnya, “Sudah rakaat keberapa? Saya ikutan makmum ya…” tanya calon makmum. “Oh baru tahiyat pertama…” sahut si calon imam.  Oalah, ya batal semua…
            Semakin siang, tamu semakin banyak berdatangan. Ada pejabat, ada orang melarat ngumpul jadi satu kayak peyeknya Mak Eroh. Kelihatan erte kacrut menyapa mereka semua dan selalu meninggalkan pipi yang maju mundur karena entah apanya yang bikin lawan bicaranya ketawa…
            “Bikin senang orang kan pahala, Dul…” katanya setiap kali. Dan kali ini erte kacrut bakal kebagian pidato di depan bupati dan para petinggi lain. Apakah dia bakal bikin senang yang mendengarnya…
            Belum tentu!

Ocehan Erte Kacrut # 7


            Erte ajaib Kampung Kacrut lagi singit kayak layangan. Miring-miring karena pusing atau memang lagi mabuk kepiting. Kok tumben, dia siap sedia berbakti, mengiyakan semua apa yang dikatakan Erwe Kancil.
”Sekali ini, jadi ahlul bait syawalan yah...” pinta Erwe Kancil yang polahnya mirip banget sama Pak Habibie... badannya kecil dan semrintil. Sigap dan cekatan. ”Erte lain dah kebagian semua, tinggal sampeyan yang belum...”
”Okelah kalo begitu...” erte kacrut menjawab seenak-enaknya.
”Nanti sampeyan pidato...! Sambutan sebagai ahlul bait...” rayu Erwe Kancil, ”Insya Allah, nanti bupati dan stafnya datang. Saya usahakan datang...”
”Kalo dia nggak datang gue nggak mau pidato...” erte kacrut itu lagunya tengil banget.
Erwe Kancil kaget bukan kepalang. Sampai-sampai duduknya nyaris ngejeglag njomplang ke belakang. Untung saja, Dul Kenyut lagi lewat. Jadi kursinya ketahan kaki alumni perguruan tinggi yang lagi nganggur itu. Dalam batin Erwe lulusan UIN ini, edan saja, ada erte kok ngambeknya aneh, ngancem nggak mau pidato kalau bupatinya nggak dateng. Emang siapa elu...
”Eit, inget ya We... biasain pejabat dengerin suara warga,” katanya, “kalo perlu warga sekampung Kacrut nanti gue suruh pidato semua, biar bupatinya ndengerin! Gue nggak usah pidato nggak papa…”
Waduh, daripada kacau beliau. Menjatuhkan reputasi dan mengancam posisi strategis keerwean yang sedang disandangnya. Mau nggak mau Erwe Kancil meloloskan semua permintaan erte kacrut tiada tara ini.
Singkat cerita, syawalan yang biasanya cuma di lapangan badminton sambil gelar tiker dan reriungan sepuasnya, diganti formatnya. Erte Mbambung memimpin langsung pasukannya untuk menjadi ahlul bait yang baik. Tuan rumah yang baik, mesti nyiapin tempat yang baik, bukan karena bupatinya mau dateng, tapi karena warga erte lain mau datang. Kalau bupati kan cuman satu, gampang ngurusnya. Tapi warga erte lain itu kan banyak, kudu diurus dengan baik. Disambut dengan suka cita dan sepantas-pantasnya serta sebisa-bisanya. Edan banget kan logikanya.
”Kita sewa hall...” kata Erte Mbambung kayak orang ngigau nggak tidur. Orang-orang yang lagi ngeriung di warung Mak Eroh keselek massal. Bikin isi teko tuntas tandas dalam sekejap, buat ngguyur tenggorokan yang pada mampet. Sejak kapan erte kacrut ini punya duit. Kas erte aja nggak pernah ada duitnya. Orang minta pengantar, suruh nyetempel sendiri. Tanda tangannya nggak dibandroli sama sekali. Gratis, tis, tis... Habis oret-oret. Dia unjukin deh tempat stempel berada. Erte edan!
”Sewa hall, Te?” Dul Kenyut juga nggak kalah shock!
Erte Mbambung mengangguk sambil ngabisin sisa kopi. Habis itu nggulung sarung dan pergi sambil nyanyi-nyanyi. Dul Kenyut ingin segera menyusuli, tapi diliriknya piring di hadapannya masih penuh nasi, usus, dan sambel goreng ati. Bimbang juga... Tapi bukankah Erte Mbambung sendiri yang bilang, kerjakan apa yang kamu hadapi. Ah, makan dulu tentu saja... Urusan erte kacrut bisa belakangan, toh dia nggak bakalan ilang. Dul Kenyut pun lahap menyantap makan siang yang kali ini dibayari erte kacrutnya itu. Nikmat sekali...
Syawalan memang jadi ajang reriungan yang hangat buat warga Kampung Kacrut. Biasanya setelah lebaran, mereka ngumpul di lapangan badminton, nggelar tiker, bawa makanan masing-masing. Ada yang bawa ayam, ada yang bawa telornya, ada juga yang bawa nasi sama kecapnya. Kalau Dul Kenyut sih ketahuan, bawa perut doang ke mana-mana. Emang modalnya cuma itu satu-satunya.
”Baru mau saya susuli udah balik aja, Te...” kata Dul Kenyut.
”Tusuk gigi gue ketinggalan...”
Mak Eroh yang denger suara ertenya itu salah tingkah. Semua piring, gelas kopi termasuk tusuk giginya sudah disingkirkan. Mak Eroh kelabakan.
”Yah, piring sama gelasnya sudah dicuci, Te... tapi tusuk giginya lupa dicuci, udah dibuang sama tuh sama Sumi...” ujar Mak Eroh memelas seribu wajah orang sengsara.
Erte Mbambung cengengesan. Balik kanan maju jalan pulang...
”Kok pulang Te...”
”Iya, mau nerusin nulis cerita berikutnya...” ujarnya sambil lari-lari ngejar kucing yang lagi ngejar curut kentut. Ampuuun dah...

Jumat, 11 November 2011

Ocehan Erte Kacrut # 6


Jauh hari sebelum lebaran tiba, masih semangat-semangatnya puasa, Erte Mbambung sering lolos dari penglihatan warganya. Beberapa kali, setiap mata menuju sajadah paling pojok, tempat keramatnya di mushala selama taraweh, selalu sudah tidak ada penghuninya. Kabur duluan seperti anak-anak yang begitu ’wa’alaikum salam’ shalat witir berakhir langsung nggulung sarung. Lalu berisik rebutan sandal, hanya karena ingin buru-buru kentut yang sudah lama ditahan-tahan.
Kelihatannya perlu pendalaman materi tuh, soal menahan kentut ketika shalat. Biarlah itu urusan para ustadz mushala, biar ada kerjaannya. Karena Erte Mbambung sudah percaya betul sama pengurus mushalanya, bahwa urusan nahan kentut ketika shalat, bukanlah urusan erte. Biar ketahuan tugas para juru dakwah itu benar-benar mengamalkan ilmunya untuk mencerahkan masyarakat. Bukan untuk shaleh sendirian...
Dul Kenyut cengengesan doang waktu ditanya Ustadz Jupri soal keberadaan Erte Mbambung.
”Lagi nyari belut, Ustadz...”
Ustadz Jupri terperangah, lalu istighfar nggak berhenti.
”Buat lebaran...”
”Buat lebaran?” ustadz muda itu mengulang pelan kata-kata Dul Kenyut.
”Iya, buat pepes! Wah enak banget, Tadz... pakai nasi hangat, makannya abis shalat ied, duduk di bale, ngeriung... wah, indah banget dah...” Dul Kenyut nyerocos sambil ngeces-ngeces air liurnya. Nggak peduli Ustadz Jupri sudah balik ke mihrab untuk meneruskan zikir dan doanya yang belum selesai.
”Ustadz belum pernah ngrasain sih, racikan bumbu pepesnya itu legit banget... nggak ada tanding pokoknya. Kalau saja Erte Mbambung mau buka restoran pepes belut, pasti Pak Makyuss yang di tivi itu bakal klepek-klepek ketagihan... dan nggak mau pulang!” Dul Kenyut tetap masih nggak sadar kalau dia ngomong sendirian. 
Dia juga nggak nyadar, kalau ada anak-anak tanggung yang iseng nyodorin mikrofon dekat mulutnya, hingga omongan ngaconya kedengaran orang-orang yang nggak pada taraweh karena asyik nonton sinetron ACB – Aku Cinta Bertasbih. Dan pasti saja, sang penguasa Kampung Kacrut alias Erte Mbambung yang sudah siap tempur dengan sarung digulung, senter dan kelewang, serta kantong bakal belut buruannya kaget bukan kepalang.
”Kultum kok mbahas resep pepes...” ujarnya sambil terus berlalu.
”Meski hanya pepes belut, tapi mampu jadi magnet orang sekampung buat ngumpul, Tadz... artinya makanan itu berkah, kepemimpinannya juga berkah. Bukannya ukuran keberkahan itu antara lain disenangi banyak orang walau dalam keadaan paling sederhana sekalipun, Tadz? Mungkin juga karena Erte Mbambung nyari belut dengan keringat sendiri, ngulek bumbunya dengan tenaga sendiri, dari hasil kebun sendiri semua bumbu dan daun pisang yang buat bungkus... kecuali berasnya sih, sumbangan tetangga...” Dul Kenyut terus ngoceh, ”Maksudnya, tetangga pada nyumbang sukarela. Ikhlas lahir batin, karena Erte Mbambung sudah sedemikian rupa membuat warga kampung tenteram lahir dan batin...”
Ustadz Jupri asyik mahsyuk dengan zikirnya nggak terlalu peduli dengan ocehan Dul Kenyut yang terus disimak warga sekampung. Ditertawakan anak-anak di samping pagar mushala. Membuat anak-anak cekikikan, dan anak tanggung cekakakan. Mungkin Ustadz Jupri sedang trance dengan zikirnya, jadi tak lagi ingat sekelilingnya penuh dengan suka cita dan kegembiraan. Kegembiraan yang sangat sederhana dari jamaah mushala. Seperti kegembiraan Erte Mbambung yang terus menyabetkan kelewangnya pada belut-belut yang terus menggodanya di tanah sawah yang baru dicangkuli.
Erte Mbambung terus membayangkan, warganya suka cita makan pepes belut dan nasi hangat sambil berceloteh dengan mulut belepotan bumbu dan nasi. Rumahnya riuh, hangat, dan semarak. Ah, betapa sederhananya membagi dan membahagiakan...
”Pokoknya pepes belut Pak Erte, mah emaknya Maknyussss...” suara Dul Kenyut menggema ke mana-mana, membuat warga sekampung tersenyum. Walau ada yang tidak...

Ocehan Erte Kacrut # 5


Erte Mbambung bertahak nggak abis-abis. Hak hek, hak hek kayak orang hamil muda. Bawaannya pengen muntah. Mual nggak berkesudahan. Untung saja baunya nggak mirip septic tank yang sering dilafal sepiteng oleh orang Kampung Kacrut. Maklumlah, lidah kampung. Paling mewah, palingan hanya makanan di orang hajatan.
“Masuk angin, Te?” tanya Dul Kenyut.
“Nggak tahu, nih Dul… belakangan bawaannya mual mulu,” sahut Erte Mbambung sambil menutupi pusernya dengan sarung. Entah sudah berapa liter minyak kayu putih diolesi ke perutnya yang terlihat agak kempes itu. Walaupun kalau dilihat dari samping sih tetap aja buncit, warung jati, hingga pasar minggu. ~ Bujug, lebar bener tuh perut, kelewatan Metro Mini 75 Blok M-Pasar Minggu. ~
“Wah, nggak jadi ikut makan enak dong…”
“Lu aja dah, gue belum cocok keseringan makan enak nih!”
Dul Kenyut ngakak. Makan enak dan gratis pula kok ditolak. Pantang banget tuh. Batin pemuda yang sangat memenuhi kriteria pemuda miskin tapi idealis. Karena biasanya kan kalau agak mapan, belum mapan, baru agak mapan, idealismenya mulai agak surut. Konon, sunatullahnya memang begitu.
“Jadi bener nih, nggak ikutan…"
Erte Mbambung nyelonjor di bale-bale sambil mijit-mijit kepalanya dan tetap saja hak hek, bersendawa tanpa gurau. Kasihan juga ngelihat erte meriang begitu. Erte juga manusia katanya, punya rasa punya hati, jangan samakan dengan pisau belati… hush, malah nyanyi Serius.
“Udah lu jalan aja, gue nggak ikutan…” katanya. Dul Kenyut matanya kedip-kedip kayak lampu menara BTS. “Ini cuman penyakit salah alamat, nggak bakal betah lama-lama karena gue miskin. Dikira gue bakal berobat kali… kagak, gue nungging, juga anginnya beres."
Dul Kenyut mulai sedikit paham, bisa jadi ini hanya alasan erte kacrut untuk menghindar dari makan-makan dan acara yang menjemukannya. Buka bersama di kantor pejabat. Mana mau dia! Biar makanannya enak dan dapat bingkisan segala rupa, kalau nggak terpaksa dan dipaksa, nggak bakalan dia mau. Kalaupun mau, juga nggak bakal ngaruh apa-apa. Paling yang nyangkut tinggal selilit di giginya.
Ceritanya Pak Camat melalui Pak Lurah mengajak erte erwe dan tokoh masyarakat buka bersama di rumah pejabat. Undangannya datang semalam. Sudah diumumin di mushola bareng sama pengumuman saldo kas dan pemasukan kotak amal segala. Tapi nggak ada yang berminat. Dasar erte edan, undangan buat tokoh masyarakat malah ditawarkan buat semua warga se-kampung.
Katanya, semua warga Kampung Kacrut adalah tokoh! Jadi menurut erte kacrut itu, mereka berhak ikut dalam undangan itu. Karena yang namanya tokoh pasti rendah hati, tidak narsis, dan tidak mau menonjol-nonjolkan diri. Tokoh itu nggak sebatas pangkat dan jabatan. Bukan karena simbol, atribut dan uniformnya. Tokoh adalah orang yang sudah sampai pada maqam terbaiknya sebagai manusia. Setidaknya selain kerendahatiannya, ada ukuran kemanfaatan yang luar biasa bagi sekitarnya. Orang yang manfaat dan maslahatnya jelas…
Dul Kenyut sebenernya kepengen, tapi nggak enak ngajuin diri. Eh, kebeneran nggak ada yang mau. Kalau rezeki nggak ke mana, batinnya. Erte Mbambung nyuruh dia datang. “Sekalian cari peluang kerjaan,” batinnya melonjak-lonjak kayak orang pemanasan senam kesegaran jasmani. Dan ketika Dul Kenyut pergi dengan hati riang. Erte Mbambung pun ikutan girang, buru-buru sarungnya digulung. Pergi ke kebon, ngumpulin reruntuhan daun dan ranting kering. Selanjutnya? Ya, nunggang-nungging bakar sampah ambil buang angin. Wush, wush…

Ocehan Erte Kacrut # 4

Seharusnya bulan ramadhan kali ini menjadi ajang instrospeksi, begitu Ustadz Jabbar memulai mukadimah malam pertama taraweh di mushala Al-Fakir wal Dhoif, Kampung Kacrut. Kampungnya orang miskin, tapi warganya memiliki kekayaan intelektual dan kecerdasan sosial yang tinggi.
Erte Mbambung tampak duduk di shaf depan sendiri, tapi agak minggir, milih dekat jendela. Biasa orang kalau kelebihannya lemak di sekeliling perutnya, ya produksi keringatnya lebih banyak. Apalagi malam pertama, penggemar shalat taraweh ngalahin tontonan apa pun. Bikin rugi tukang bikin sinetron karena ratingnya langsung anjlok.
Dan semua warga kampung sudah tahu, tempat paling sakral itu justru di pinggir dekat jendela itu. Tempatnya Erte Mbambung yang seumur hidupnya nggak mau dekat-dekat mihrab apalagi bermakmum persis di belakang imam. Khawatir jadi badal imam yang batal karena serangan puting beliung di perutnya yang bisa bikin bunyi ngeces-ngeces disertai aroma biang parfum yang susah dikasih nama…
“Saya tahu diri lah…” akunya suatu ketika. “Orang kan punya kapasitas masing-masing, kalau ada ahlinya, ya kasih dia…”
Sebenarnya Dul Kenyut dan warga kampung tahu, Erte Mbambung juga punya kemampuan menjadi imam. Wong sering ketangkep basah lagi tadarusan tengah malam buta. Nggak sekali dua kali. Komendan Jupri, tukang ronda paling rajin se-kampung ini, bisa jadi saksi kuncinya.
“Lu udah introspeksi, Dul?” tiba-tiba erte yang seneng bakar sampah itu ngagetin. Wajahnya serius, jarang-jarang dia begitu. Jangan-jangan semalam dia nggak sahur, atau ketulangan duri pepes belut.
“Wah, ya belum Te, kan baru sehari puasanya…” Dul Kenyut berkilah. Ia merasai, urusan introspeksi bakal jadi perbincangan panjang dengan ertenya itu. Kenapa juga, Ustadz Jabbar ngomongin instrospeksi segala.
“Lha, lu nggak denger semalem, tuh Ustadz ngomong kalau bulan puasa itu bulan introspeksi, bulan muhasabah...” katanya sambil batuk dua kali.
“Ya denger, Te! Orang ngomongnya jelas begitu, mana saya deket speaker lagi...” ujar  Dul Kenyut.
Erte Mbambung bisik-bisik, instrospeksi itu apa ya? Walah, Dul Kenyut curiga, nih erte bener nggak tahu, lagi ngetes, atau memang bener-bener nggak tahu. Harusnya sih dia tahu. Aneh aja, kalau erte ajaib kayak dia nggak ngerti instrospeksi. Tapi kalau nggak dijawab, nanti bakal panjang urusan. Anak kuliahan apaan nggak ngerti yang beginian... Dul Kenyut bak disuguhi kopi yang panasnya ngebul-ngebul kayak orang debat politik di tivi. Diminum lidah angus, nggak diminum dikira nggak ngormatin jerih payah petani kopi hingga yang ngrebusin airnya. Halah...
“Tolong bantuin gue instrospeksi ya...”
Ups! Dul Kenyut kelimpungan kayak orang kesundut knalpot motor yang baru berhenti dari perjalanan mudik ke Jawa.
“Gue kan erte, punya program, jadi lu bantuin gue kira-kira program mana yang jalan, mana yang cuman rancangan, mana yang kudu cepet dikelarin tapi kagak kelar-kelar, terus kenapa nggak gue kelarin...” Bla, bla, bla... Erte Mbambung terus nyerocos sambil jalan pulang. Dul Kenyut lagi-lagi kebagian puyengnya.
“Jangan sampai nanti gue ditahan malaikat di depan pintu surga, gara-gara gue nggak menggugurkan amanah warga Kampung Kacrut...” lanjutnya.
“Emang pasti masuk surga, te...”
“Cita-cita muslim sejati, Dul! Masak cita-cita mentok jadi erte, palingan jadi tetangga bupati... nggak cerdas banget lu,” ujarnya sambil ngibasin sarung.
Hmmm... Dul Kenyut mesam-mesem, kali ini tidak perlu instrospeksi. Pasti Erte Mbambung yang ninggalin bau yang bikin kliyengan setengah mati. Ketahuan modusnya, ngibasin sarung buat nyaru kalau ada bunyi di balik sarungnya... Dasar erte kacrut, bukannya bikin suasana kondusif buat instrospeksi, malah bikin polusi...

Ocehan Erte Kacrut # 3


Memang nggak gampang jadi pejabat publik. Sudah pejabat, publik lagi... begitu selalu Erte Mbambung memilah. Menggoda amanat yang sedang disandangnya sendiri. Yah, walaupun hanya erte. Penghuni urutan paling buncit dalam struktur pemerintahan republik yang punya ratusan bupati dan walikota, ribuan camat dan sekretaris camat yang berpotensi mendapat promosi menjadi camat, serta puluhan ribu erwe dengan berbagai model termasuk erwe ’Nganu’ di sinema Para Pencari Tuhan besutan Haji Deddy Mizwar. Erte Mbambung sadar benar, ada pertanggungjawaban publik dalam setiap tindakan, omongan dan pikirannya.
”Berat juga jadi erte ya,” ujar Dul Kenyut sembari menekuk dengkulnya. Bersila di bale-bale bambu yang bunyi kriet-krietnya makin sering saja. Rasanya sih, mesti diganti yang lebih kokoh. Karena kalau ngomongnya diganti baru, nanti bisa dipolitisasi jadi isu ibu-ibu fans club tukang sayur keliling dan bapak-bapak pensiunan yang nggak punya kerjaan tapi butuh eksistensi.
”Kayaknya bale-bale makin reyot aja, Te...” Dul Kenyut ngoceh lagi padahal Erte Mbambung belum nyahut sepatah kata pun. ”Harus diganti Te... Bahaya, kalau sampai ambruk pas ada tamu penting...”
”Semua tamu di rumah ini penting Dul...” sahut erte kacrut sambil methingkrang alias duduk sarungan sambil ngangkat kaki.
Halah, mesti begitu. Dul Kenyut mesti dalam posisi skak seter. Nggak bisa nglawan. Pasrah, menerjemahkan kejamnya kata-kata sang erte kacrutnya itu. IPK tiga tidak terlalu bermakna buat erte yang semelekete ini.
Pelajaran memuliakan tamu bagi Dul Kenyut memang tidak didapatnya dari kuliahan, tapi malah dari ertenya ini. Semua tamu mulia, diperlakukan sama, tidak peduli apa jabatan dan pangkatnya. Erte Mbambung akan dengan seenaknya duduk methingkrang, njilati biji duren sampai klimis, bahkan semut pun nggak kebagian lagi manisnya atau disambi ngopi yang pahitnya lebih dari brotowali. Soal pahitnya kopi Pak Erte, nanti kita bicarakan di lain topik.
Mungkin sikap inilah yang membuat Bupati enggan mertamu ke rumah erte kacrut itu. Banyak sekali alasan yang menabalkan secara sah dan meyakinkan, bahwa rumah Erte Mbambung sangat tidak layak disambangi pejabat sekelas bupati itu. Karena, Erte Mbambung pasti akan memerlakukan sama dengan tamunya yang lain. Seperti dia menerima Nyai Opat Apit Opatimah yang kakinya dekil binti busik, Rebes yang lemotnya susah dikalahin, atau Ciblek, bekas pelacur yang sedang proses tobat.
Nggak ada protokoler, palingan suruh duduk di bale-bale yang mulai reyot itu. Satu-satunya tempat yang mungkin diduduki bebarengan di rumah itu. Bikin minum sendiri, terserah seleranya, mau teh atau kopi. Kalau minumnya air putih ya paling disuruh nuang sendiri dari kendi tanah. Alasannya, kalau dituangin dia nggak ngerti ukurannya. Kalau kebanyakan nanti mubazir, kalau kehausan dan pengin nambah pasti bakal bikin repot, karena ngobrolnya nggak kelar, cuma sibuk nuangin air buat tamunya doang... Ah, dasar kacrut!
Tapi bener lho, walau sudah setahun lebih bertetangga dan jadi warga Kampung Kacrut, sang Bupati sama sekali belum pernah main ke rumah Erte Mbambung. Slogan pemimpin yang merakyat dan melayani hanya isapan jempol cantengan belaka. Padahal, hampir setiap hari tuh rumah ramai mondar-mandir tamunya. Dari yang sekadar mau minum air kendi, numpang kencing, atau mau bicara setengah serius bahkan membicarakan bab paling serius sekalipun. Edannya, si erte kacrut itu cuek saja... seperti nggak menganggap keberadaan orang penting di kampungnya.
Dul Kenyut mikir, inilah kalau jabatan jadi tujuan. Dijadiin jubah kebesaran. Kalau otaknya kerdil, maka jadi  terlalu berat untuk meletakkan label dan atribut yang menempel. Hubungan antarmanusia yang begitu mulia, seolah disekat oleh jabatan yang umurnya cuma hitungan hari saja. Bahkan kalau dikonversikan ke jam, jadilah beberapa ribu jam saja. Yah, paling lama 32 tahun seperti Suharto, itupun rontok didemo. Nggak ada yang abadi... termasuk erte kacrut itu. Nanti akan berganti dengan erte yang lain. Mungkin lebih canggih, lebih jelas kerjanya, lebih baik manajemennya. Atau bisa-bisa malah lebih kacrut...
”Kenapa nggak diundang aja, Te?” Dul Kenyut menggoda ertenya.
”Emoh...”
Hehe, mana mau Erte Kacrut model dia ngundang pejabat. Ribet. Kasihan warganya yang sudah ribut dengan ribetnya urusan sehari-hari. Harus repot untuk hal yang nggak ngaruh dalam hidupnya. Wong warga Kampung Kacrut sudah repot bukan main dengan hidupnya. Dari pagi menuju pagi, semua repot. Kecuali ya ertenya itu...

Ocehan Erte Kacrut # 2


Erte Mbambung sakit pinggang...!
Ah, itu bukan alasan buatnya untuk tidak membuat warganya tetap pada garis edar cengengesan yang sudah dia buat. Wong warga Kampung Kacrut itu liatnya bukan main. Memiliki banyak kecerdasan untuk terus bertahan, berkreasi sedemikian rupa sehingga. Karena hidup adalah cengengesan, terjemah bebas ala Erte Mbambung, bahwa hidup hanyalah senda gurau belaka. Jadi kalau hanya urusan dunia, nggak perlulah terlalu serius...
Sambil ngelonjor di bale-bale bambu, sang erte ngliatin kalender porno –gambar segala binatang yang kini ditiru manusia terkenal, setengah terkenal, bahkan tidak dikenal sama sekali-- yang tergantung di biliknya. Kalender hadiah dari toko emas waktu dia numpang neduh karena hujan datang dadakan, sama sekali jauh dari perencanaan. Seperti banyak instruksi yang ia terima dari erwe, dari lurah, dari asosiasi penggemar getuk lindri, dari perkumpulan penikmat kopi Mak Eroh sejati, dan tentu saja dari institusi yang lebih tinggi dan lebih formal. Dadakan dan instruktif... sak karepmu! Paling begitu saja, kalau Dul Kenyut nanya ini itu.
"Nanti dikira makar, Te..."
"Lha,apa susahnya mbasmi orang kecil dan tak berdaya macam kita, Dul..." sahut Erte Mbambung sambil mencabuti bulu hidungnya, "Disemprot pake semprotan nyamuk orang sekampung Kacrut juga mati semua."
"Bukan begitu, Te. Bisa-bisa kita kena jerat pasal subversif, Te..." Dul Kenyut agak takut.
"Yang subversif itu mereka, menelantarkan orang kecil macam kita..."
"Kok malah begitu..."
"Kalau sekarang kekuasaan membutakan dengan berbagai argumen dan alasan yang masuk akal maupun tidak masuk akal ya nggak masalah, faktanya kan mereka tidak berbuat apa-apa buat kita..."
Heran,ini orang sakit malah agak keras omongannya. Dul Kenyut terus meraba, ke mana arah omongannya. Jangan-jangan pengaruh sakit, otak ertenya agak keluar rel. Agak oleng dikit, semacam efek panas tinggi yang bisa orang ngigau sampai kayak pejabat pidato. Dul Kenyut hanya meraba-raba, jangan-jangan dia lagi ngrasani hasil kongres erte sejagat korat setahun lalu. Yang rekomendasinya indah nian, walau Erte Mbambung sudah pesimis sejak berangkat. Nggak bakal ada terobosan, nggak ada percepatan, katanya pada Dul Kenyut yang jadi anggota delegasi bersama erte kacrut itu.
"Nggak usah dipikir dalam-dalam, Dul, nggak ngaruh..."
"Tapi ini kan masalah loyalitas, Te..."
"Heh,di mana-mana rumusnya pemimpin loyal sama anak buahnya, sama warganya, sama masyarakatnya. Bukan sebaliknya... apa dia bisa jadi pemimpin kalau umatnya nggak peduliin dia... kok tumben sekarang lu agak bodoh, Dul..." Erte Mbambung ketawa bukan main kerasnya.
Menjadi pemimpin memang sulit. Tapi kalau sekadar jadi tukang perintah, tiup peluit, kasih instruksi ini itu, ya lebih gampang. Tapi namanya pasti bukan pemimpin.Kalau bukan mandor ya... wasit, kali ya?
Ah, Erte Mbambung biar lagi sakit pinggang , tetep saja bikin orang kampung menampung senyum.

Ocehan Erte Kacrut # 1

Sudah hampir setahun Bupati Ketoprak terpilih dan tinggal di wilayah Kampung Kacrut. Dan hampir setahun pula, Bupati Ketoprak itu tak pernah kelihatan wajah dan senyumnya di lingkungan yang cuma seuprit, bahkan saking kecilnya, kalau ada orang kentut semua penghuni kebagian baunya. Ya, maklumlah sibuk, namanya juga bupati, urusannya banyak, diatur oleh protokoler yang cermat, demi keselamatannya dunia dan akhirat. Tapi tidak yakin juga kalau warganya maklum, bisa jadi karena mereka cuek dan nggak menganggap penting keberadaan bupati di kampungnya.
“Ini kan kampung intelek, jadi ya berperilakulah intelek,” kata Erte Mbambung sambil cengengesan ngemil krupuk masuk angin ketika ditanya sama Dul Kenyut, warga yang kerjaannya nonton tivi bagian politik-politikan.
“Lah, bukannya setiap penghuni baru harus lapor, Te…”
“Halah, itu kan katamu…”
“Lho bukannya Pak Erte yang nyuruh nulis!”
“Yah, biar erte ada instruksinya dikit, buat pantes-pantes…”
Erte kacrut di Kampung Kacrut. Pas! Edan, batin Dul Kenyut. Punya erte setengah tiang memang kadang ngeselin luar dalam. Semua warganya suruh mikir sendiri omongannya. Suruh menafsiri sendiri apa yang dikatakannya. Nanti kalau dikonfirmasi balik, jawabnya enteng bener, “Lu sekolah kan? Tinggi kan? Ya udah… pikir sendiri!” Halah, ampuuun…
Dul Kenyut suruh mikir, kira-kira menurutnya, kalau ada orang datang, apapun dia, siapa pun beliau, mau bupati, presiden sekalipun kalau datang ya harus ‘kulonuwun’ lah sama yang punya kampung. Itu kan masalah etika. Jangan dihubungkan dengan jabatan, dengan kedudukan, apalagi dengan yang hubungan dan ukurannya material lainnya. Nggak peduli…
Jangan juga disangkut pautkan dengan perasaan. Jangan karena tidak ikut nyoblos waktu pilihan waktu itu, atau karena hanya bikin ribet dengan banyak pertanyaan, dianggap ngrepotin, terlalu berisik, atau bahasa politisnya tampak beroposisi. Wong, ini hubungan kekerabatan antarmanusia, antarawarga, antarsesama kok… Jabatan kan ada umurnya, paling empat atau lima tahun selesai. Paling kalau kepilih lagi ya paling mentok 32 tahun selesai dengan didemo. Nah, kalau pertemanan, persaudaraan atau bermasyarakat kan umurnya panjang. Abadi, sepanjang masa, sampai nyawa lolos dari raga yang bersangkutan.
“Nggak perlu takut…”
Inilah pesan yang dalam dari erte kacrut itu kepada para pejabat! Wong jabatan umurnya bisa diterawang. Korup dikit atau sekalian banyak, pecat. Nggak bisa mimpin, demo. Intinya pemimpin itu kudu ojo rumongso biso, ning bisoo rumongso. Jangan merasa bisa, tapi bisalah menenggang rasa. Jadi jangan mentang-mentang.
Dan kelihatannya, warga Kampung Kacrut itu canggih sekali kalau soal begini. Mereka punya nilai sendiri yang tumbuh dari rasa persaudaraan yang kuat. Silaturahim antarmereka dekat sekali. Mereka warga yang cerdas. Dan sangat egaliter…
Mana ada ketua erte ceng-cengan sama warganya. Kadang malah ancurnya minta ampun. Tapi tetap saja penghormatan warga pada ertenya dijunjung tinggi. Persoalannya memang bagaimana berendah hati dan saling menghargai. Dan kata erte yang kacrut alias sudrunnya minta ampun itu, tak ada alasan apa pun yang menghalangi orang untuk berendah hati. Wong agama apa pun mengajarkan kerendahhatian kok, persoalannya kan mau dipraktikkan atau sekadar diteorikan. Rendah hati itu tidak perlu diperdebatkan atau cuma ditulis di buku.Lakonono… Jalani saja!
“Di mana langit dipijak, di situ bumi dijunjung… ya Te?”
“Kuwalik….”
“Eh iya, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung…”
Inilah salah satu rahasia penting kepemimpinan erte Kampung Kacrut. Jangan merasa menjadi orang paling penting. Mentang-mentang, apa-apa minta diundang, disediakan tempat duduk paling depan, disediakan waktu untuk pidato. Halah… ternyata kemapanan membuat orang jadi birokratis dan jaim stadium empat! Lupa niat awalnya, melemah pergerakannya. Terlena dalam kamuflase ‘kebesaran’. Belum apa-apa sudah merasa besar…
Bahwa menjadi pemimpin, apalagi pakai mencalonkan, berkampanye, dan lobi-lobi. Ya, harus tahu risikonya. Itulah bedanya pimpinan jabatan struktural apa pun namanya, entah presiden, bupati atau ketua dengan pemimpin beneran. Karena pemimpin yang ini tumbuh dan berakar, tahan gempa, tahan banting, dan tahan cuaca tanpa perlu sekolah terlalu tinggi. Alam menyediakannya untuk tumbuh... Biasanya, yang sudah terjadi dan dicatat sejarah, usia kepemimpinannya lebih panjang tanpa periodesasi, karena dia tidak dipilih dengan hitungan dan cara-cara transaksional lainnya.
Tidak jelas ini bawaan orok atau dasar nggak ngerti etika, setengah mati Dul Kenyut memeras otaknya menafsiri perihal kepemimpinan dan kearifannya, ealah… Erte Mbambung malah nggulung sarung ikut nurunin sayur mayur berkarung-karung di Mak Eroh punya warung. Sebentar lagi pasti ngopi sama cekakakan tuh… kalau tidak percaya, silakan saja gabung di warung Mak Eroh. Pisang kipasnya lebar bener kayak tepokan nyamuk…

Berbagi dalam Puncak Cinta (2)


Puncak cinta? Apalagi nih…
Sederhana saja mulanya, karena saya hanya orang biasa yang tidak bisa dan biasa dengan keruwetan. Menurut pengetahuan saya yang tidak seberapa, Ramadhan adalah puncak cinta. Kok? Karena, lagi-lagi menurut saya yang hanya lulusan pesantren kilat, pada bulan ini bertebaran sedemikian rupa kasih sayang Allah kepada manusia. Semua menjadi kebaikan, semua berlipat ganda pahalanya, semua doa dan munajat lepas langsung menuju aras Tuhan tanpa hijab.
Berbagi juga menurut tafsir saya, lagi-lagi tanpa referensi kitab-kita primer yang bahasanya tidak saya mengerti. Berbagi adalah puncak kedekatan dalam berpenghayatan beragama kita. Saya senang dengan analogi matematika soal ini. Manakala beragama tidak hanya berpikir menambah pundi-pundi amal shaleh, mengurangi amalan mubazir dan mengalikan berbagai amal untuk semata-mata membeli tiket surga sendirian.
Tapi masih ada ’berbagi’ sebagai puncak cinta.
Berbagi adalah puncak cinta amal kebaikan seseorang. Puncak cinta kita ketika merasa bertuhan. Puncak beragama kita. Puncak kehambaan kita. Agar kita menjadi hamba yang paling dikasihi, diberi berbagai keistimewaan karena mewarisi sifat rahman dan rahim-Nya.
Kenapa harus berbagi?
Berbagi adalah kecerdasan yang dikaruniakan kepada hamba-hamba terpilih. Karena berbagi mensyaratkan seseorang mengantongi egoismenya, membungkus kepelitannya, meluluhkan rasa posesifnya, dan menyediakan dirinya untuk membuka diri, bahwa kebahagiaan ini tidak berdiri sendiri dan semata-mata milik sendiri. Ada bagian orang lain dalam setiap apa yang kita dapat dari Tuhan. Entah materi, entah rasa...
Maka, saya merasa, tema ”Berbagi dalam Puncak Cinta” dalam kegiatan FLP Jakarta kali ini adalah tepat. Begitu banyak rasa yang dimiliki teman-teman yang bisa dibagikan tanpa mengurangi sedikitpun rasa itu. Seperti juga terlalu banyak yang teman-teman miliki untuk dibagi, tanpa pernah terkurangi meski sudah dibagi. Saya rasa, tak ada yang merasa kehilangan dan terkurangi dari apa yang teman-teman miliki sepulang dari Panti Sosial Asuhan Anak Utama I malam itu.
Justru, saya menyakini...
Ada rasa yang harus kembali dibagi lagi. Ada sesuatu yang harus segera dibagi. Dan itu menjadi rindu yang akan terus membara. Memaksa kita untuk kembali ke sana, suatu ketika...
Teriring takzim saya yang luar biasa serta terima kasih kepada semua yang telah ringan langkah, memberi sumbangsihnya, dari tenaga, pikiran, harta benda, dan doa... Semoga menjadi amalan terbaik dalam meraih cinta-Nya. Amin.


Berbagi dalam Puncak Cinta (1)


“Jauh banget…” kata sebelahku.
“Buat kita iya, tapi kan tidak buat teman-teman yang lain,” sahutku.
Maka nikmatlah perjalanan hari Minggu itu. Menyusuri jalanan Jakarta yang seharusnya tidak macet, karena hari libur. Tapi sekarang tidak berguna, di beberapa tempat, tetap saja, kita harus bersabar-sabar menahan diri untuk menikmati kemacetan dengan sebaik-baiknya.
Diawali dengan program buka puasa bersama anak yatim tahun lalu, kali ini dikembangkan menjadi Pesantren Sastra. Tidak sekadar berbuka puasa dan menyumbang sembako dan buku semata, tapi juga ada kajian keislaman buat teman-teman FLP Jakarta. Tentu saja golnya jelas, upgrading wawasan keislaman.
”Selalu sedikit kalau beginian ya?” kata seorang teman yang datang terlebih dulu di lokasi acara. Tak lama setelah shalat dzuhur jamaah, tak lama setelah saya tiba di Panti Sosial Asuhan Anak Utama I, Klender, Jakarta Timur.
”Nggak apa-apa...” jawab saya sambil duduk di bawah pohon.
Merintis jelas berbeda dengan melanjutkan. Memulai juga berbeda dengan mengulang. Buatku yang penting adalah keberanian memulai. Rintisan adalah upaya untuk berkembang. Dan merintis itu mendewasakan. Melemparkan kita beberapa langkah ke depan dari pada berdiam dan cuma membesarkan angan-angan. Kita akan berhadapan dengan hal-hal tidak terduga, kemudian menjadi nilai baru buat kita. Mengukur diri dan kemampuan kita, hingga melahirkan kesadaran baru, perenungan baru, pengalaman baru, dan pembelajaran untuk menjadi lebih baik.
”Setidaknya kita sudah memulai...” aku melanjutkan jawabanku. Soal banyak hal yang harus disempurnakan, masih banyak sekali kesempatan dan waktunya.
               
           
            

               

TOT ala Koboi Betawi # 3

Rasanya tukang nasi goreng agak nyesel...
            Setengah bakul harus diaduk sampe keringetan dan bikin wajan penuhnya bukan main. Dan setelah shalat maghrib, setelah diperjuangkan dengan penuh semangat, sewajan nasi goreng itu pindah jadi sebakul lagi... keren! Dan sekumpulan orang rakus siap melahap dengan wajah dendam kesumat!
            Wis, soal makan nggak usah diceritain detil. Pasti norak!
            Nah setelah makan itulah, ada yang ngambek pulang... Langsung saja, dicatat dengan senang hati kalau mereka pasti tidak lulus ToT dan wajib ikut remedial kalau mau diakui sebagai mentor FLP Goes to School. Apa pun alasannya, keputusan panitia tidak bisa diganggu gugat. Ini adalah pembelajaran tentang konsistensi! Kudu konsisten kalau mau maju... Kudu konsisten kalau komitmen sudah dicanangkan! Edan opo ora Son...
            Break dipakai untuk bicara hal lain seperti bagaimana tukeran nomer telpon yang baik dan benar. Atau chating di fesbuk meskipun norak tapi santun. Atau bagaimana ceng-cengan tapi cerdas. Halah... Pokoknya pembicaraan yang nggak mutu sama sekali. Secara kualitas bahasa pun kacau, kalimatnya banyak yang tata bahasanya hancur. Nggak pakai SPOK sama sekali...
            Teng...
            Sesi kedua ToT dimulai. Kali ini di ruang paling canggih di dunia. Sambil memandang bulan separuh, ac dimatikan, pintu dibuka selebar-lebarnya, dan kipas angin diputar sekencang-kencangnya. Mata dipelototkan sebulet-buletnya...
            ”Materi kali ini adalah penulisan jurnalistik...”
            Kenapa jurnalistik?
            ”Karena banyak sekolah yang memiliki buletin, majalah sekolah atau majalah dinding yang ingin dikelola dengan benar...”
            Oke. Sang Jagoan Neon kembali beraksi. Menjelaskan materi dasar-dasar jurnalistik, dengan gamblang, lugas dan jelas. Kalau sampai nggak paham, patut dicurigai peserta yang bersangkutan pasti punya kelainan kejiwaan. Jiwa yang sehat pasti dengan cepat menangkap materi yang dibawakan dengan menarik dan atraktif sekali. Kali ini dengan simulasi segala rupa. Selain penjelasan dengan menggunakan papan tulis paling canggih abad ini. Touch screen, dan hanya bisa dilihat oleh orang-orang beriman dan beramal shaleh saja... Tugasnya lebih berat dari sesi pertama...
            ”Kita simulasikan...”
            Jiah... peserta berasa bener sebagai sebuah redaksi sebuah majalah. Lengkap strukturnya dari pemimpin redaksi, sekretaris redaksinya hingga office boynya... Nah untuk peserta yang harus jadi office boy pemilihannya lebih alot. Selain wajahnya memelas dan menjiwai kemiskinan seumur hidupnya. Dia juga harus terampil membuat kopi, teh, termasuk cekatan bila disuruh fotokopi...
            ”Kita mulai dari merumuskan pertanyaan... selanjutnya tambahkan minimal lima pertanyaan berikutnya...” kata sang jagoan neon sambil jalan ke balkon menikmati rembulan separo...
            Peserta cengo!
            Dan waktu satu jam yang diberikan, ternyata... hadeuuuh! Kalau saja nggak kasihan karena mata sudah pada merah, beleknya udah bikin lengket... pasti nggak semudah itu diloloskan. Jagoan Neon tetaplah orang yang baik hati, penuh cinta, dan asoi geboi... Meski ada satu peserta yang lagi-lagi ancurnya luar biasa. Tapi diloloskan juga. Meski dalam hati bilang... kok ada ya, anak begitu! Bikin pertanyaan ngaco, bikin jawaban lebih ngaco, bikin beritanya makin ngaco... Halah...
            ToT sesi dua, ditutup dengan martabak manis sebagai perbaikan gizi peserta. Siapa tahu, karena kurang gizi pada masa pubernya, mereka jadi lambat berpikir... Selanjutnya, apa pun kesan pesertanya terhadap ToT kali ini... tanyakan sendiri, atau silakan bikin testimoni sendiri.

            (tidak bersambung, udah males...)