Dul
Kenyut nggak bisa tidur, tumben banget…
Biasanya begitu ketemu bantal di
saungnya Erte Kacrut terus saja merem dan mendengkur. Apalagi kalau semua atribut perang melawan
nyamuk dan dingin sudah dikenakan, kaos kaki, sarung, udeng-udeng (penutup kepala
oleh-oleh dari Erte Kacrut waktu study tour ke Jogja), dan tentu saja nyalain
obat nyamuk.
“Kenapa luh, galau?” tegur Erte
Kacrut yang tampaknya baru saja dari sumur.
Dul Kenyut cuma tersenyum nggak
menyahut. Hmm, orang ini nggak tahu diri amat ya… batinnya, dia yang bikin gue
nggak bisa tidur malah sekarang seenaknya ngatain kalau gue galau!
“Makanya baca doa, sembahyang
tahajud, biar semua keinginan lu kesampaian… pengen dapat kerjaan, jodoh, jadi
orang terpandang, dihargai orang, dihormati orang, disanjung-sanjung orang.
Pokoknya cita-cita lu supaya eksis kesampaian dah! Gue bantuin amin-nya aja
deh!” Erte Kacrut nyerocos sambil ngelap muka pakai kaosnya hingga pusernya
kelihatan.
Dul Kenyut hanya melenguh…
Enteng aja lu ngomong, batin Dul
Kenyut lagi, semakin banyak omong, semakin gue nggak bisa tidur nih! Dul Kenyut
hanya bisa protes dalam hati, tidak berani ngomong langsung. Ah, padahal Erte
Kacrut orang yang paling nggak seneng kalau diomongin di belakang, atau kalau
ada masalah dengan dirinya nggak mau ngomong. Jangan-jangan nanti dia juga
dianggap Brutus sama Erte Kacrut karena hal ini. Karena menurut Erte Kacrut,
Brutus yang membunuh Raja Caesar itu simbolik!
Entahlah bagaimana dalilnya, erte
sableng itu menafsirkan simbolisasi pembunuhan dalam kasus Brutus. Katanya sih,
Brutus itu semacam nafsu juga. Sejenis nafsu berkuasa, keinginan untuk eksis
juga, dan kegalauan orang-orang di sekitar kekuasan yang merasa lebih bisa
memimpin dari pemimpinnya sekarang. Lalu sedemikian rupa, melakukan konspirasi
untuk secara individu ataupun kolektif, menjerumuskan pemimpinnya dalam suasana
simalakama.
Nah inilah yang bikin Dul Kenyut
nggak bisa tidur…
Simalakama.
“Lu kan nggak pernah mikir Dul,
secara paksa telah mengambil bahkan merampok tanpa sisa semua yang privat dari
gue! Untuk menjadi pemimpin, semua itu sudah diambil dan apa yang melekat dalam
diri yang bersangkutan menjadi milik publik. Kalau orang biasa punya 24 untuk
urusan dirinya, seorang pemimpin, seperti erte macam gue, 24 jam atau mungkin
separonya sudah diambil semuanya buat urusan publik…”
Dul Kenyut mikir, iya yah, ertenya
kehabisan waktu untuk dirinya. Padahal seperti yang lain, dia juga harus kerja,
harus memenuhi hajatnya, dan mesti memiliki ruang privat seperti dirinya yang
kebanyakan waktu hanya untuk diri sendiri. Urusan warga jadi hal yang tak
pernah lepas dari dirinya, dari melek mata sampai merem.
“Lu nggak pernah mikir kan Dul yang
kayak gitu… dan seenaknya aja kalau ada yang nggak beres lu nuduh-nuduh gue
nggak amanah lah, kepemimpinan gue payah lah… lu ngasih apa buat gue? Emang
Erte digaji, dikasih fasilitas seperti pejabat? Sehingga bisa kasih semua
waktunya untuk ngurusin ini semua tanpa bingung mikirin bakul nasi, bayar
listrik, kondangan, trus nanggung hidup lu juga…” Wajah Erte Kacrut tiba-tiba
serem banget di hadapannya, “Waktu yang gue punya sama Dul! Dan udah diambil
semua untuk ngurusin elu pada, tapi gue harus bersiasat supaya gue juga tetap
hidup, tetap bisa makan tanpa meminta-minta, tetap bisa hidup normal…”
Ehm, Dul Kenyut merasa ada yang
mengiris hatinya. Jujur saja ia merasa nyaman jadi orang dekatnya Erte Kacrut.
Dia dapat banyak kemudahan, kecipratan makan enak kalau ertenya diundang ke mana-mana,
dapat duduk paling depan, ikut dihormati orang, dapat diskon makan dan ngopi di
warung Mak Eroh… ah! Dul Kenyut takut kalau semua itu tiba-tiba tercabut dan
tidak ia dapatkan lagi…
Tiba-tiba Dul Kenyut merasa ia
menjadi Brutus…
Dialah yang memaksa agar ertenya
terus menjadi erte di Kampung Kacrut sepanjang hayat. Kasak-kusuk dengan warga
agar tidak ada yang menggantikannya. Dul Kenyut sama sekali tidak pernah
berpikir, ertenya telah ia rampok kebebasannya dan waktunya!
Dul Kenyut makin galau…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar