“Menulis adalah keberanian…” Erte Kacrut membuka pidatonya,
“Itu kata sastrawan Pramudya Ananta Toer. Nah, kalau menulis adalah keberanian,
berarti kita mungkin bisa bersepakat bahwa membaca adalah kelebihberanian…”
Dul Kenyut menyambut dengan tepuk tangan,
beberapa orang yang hadir juga tepuk tangan. Anak-anak yang jumlahnya puluhan
pun tepuk tangan. Entah mereka mengerti atau tidak dengan omongan ertenya. Yang
penting tepuk tangan... Orang-orang yang duduk di bangku depan mungkin paham,
tapi deretan bangku berikutnya belum tentu. Mungkin buat mereka, tumpeng buat
Mak Eroh lebih menarik.
Atau jangan-jangan...
”Menjadi orang yang berani dan
memiliki kelebihberanian harus bisa menahan diri dari nafsu lapar mata dan
lapar perut. Persoalannya adalah, untuk dua hal itu sepertinya sulit
dikendalikan buat kita...”
”Betul, Te...” celetuk seseorang
disambut dengan tepuk tangan yang lebih bergemuruh. Lebih ramai dari gelombang
tepuk tangan yang pertama. Dul Kenyut celingukan, matanya bersitatap dengan
ertenya dengan tatapan bingung.
”Sepakat... untuk itu saya akan
langsung memotong tumpeng ini,” Erte Kacrut tahu persis kalau bakal mubazir
pidatonya. Nggak mungkin didengar. Dan ia pun segera menyudahi. Tahu habis
pidato bakal ada potong tumpeng, orang-orang tua di barisan depan keras sekali
menjawab salamnya.
Begitu tumpeng diangkat Dul Kenyut,
ketahuan banget itu wajah sumringah para tamu. Tapi bukan Erte Kacrut kalau
nggak banyak akal, ia memanggil semua anak-anak yang ada untuk ke depan, duduk
mengelilingi tumpeng. Dengan tertib mereka duduk bersila. Wajahnya beraneka
macam rona. Ada yang gembira, senang, biasa saja, bahkan ada yang begong, khas
anak-anak, tulus. Kontras dengan wajah para pinitua yang duduk di bangku depan.
Agak bingung, agak khawatir, dan penuh dengan rasa deg-degan...
”Ya, mari kita berdoa, setelah itu
kita makan tumpengnya...” kata Erte Kacrut.
Doa selesai, tumpeng tidak
dipotong....
”Ayo anak-anak, makan yang kenyang,
jangan lupa baca doa ya... jangan berebut seperti orang yang sudah sering makan
tumpeng!” kata Erte Kacrut.
Dul Kenyut bengong. Matanya
bolak-balik memandang ke anak-anak yang lahap tapi teratur makan tumpeng, lalu
memandang Erte Kacrut yang sumringah. Erte
edan! Batinnya. Matanya beralih ke para tamu di deretan depan, wajah-wajah
bingung, kecewa dan jakun yang terus naik turun tanpa henti karena menelan air
liur.
”Biarin anak-anak dulu ya
Bapak-bapak,” kata Erte Kacrut, ”Mereka kan belum pernah makan tumpeng, kalau
sampeyan semua kan udah sering...”
Alhasil, satu-satu orang tua itu
beranjak pulang ada yang pamit, ada yang tidak pamit, ada yang nyelonong. Tapi
semua sepakat, pergi sambil mengumpat. Dasar
erte edan, nggak ngormati orangtua!
”Eduuuun!”
Erte Kacrut cuma cengengesan. Dul
Kenyut memandangi ertenya dengan jakun naik turun juga. Ngiler dari tadi pengen
makan tumpengnya Mak Eroh.
”Situ gimana sih Te, saya yang
angkat dan bawa-bawa tumpeng dari warung, masak nggak kebagian...” protes Dul
Kenyut.
”Lu aja yang takut nggak kebagian,
liat tuh!” Erte Kacrut matanya mengarah ke tumpeng. ”Anak-anak mah tahu diri,
ngukur perutnya, nggak serakah kaya orang tua. Sama aja dong lu sama mereka,
takut nggak kebagian...”
Dul Kenyut tersipu, tapi jakunnya
tetap naik turun.
”Siapa yang udah...” tanya Erte
Kacrut.
Beberapa anak tunjuk tangan. Tertib!
”Nah, yang sudah ke saung ya...
silakan baca buku sepuasnya. Yang belum selesai nyusul ya...” Erte Kacrut
mendahului langkah ke saung. Ia sengaja mengumpulkan buku-buku buat anak-anak
Kampung Kacrut. Dan ternyata, antusiasme membaca mereka sama antuasiasnya
dengan ketika mereka makan tumpeng.
”Masih takut nggak kebagian, Dul...”
Erte Kacrut menepuk baru Dul Kenyut.
”Nggak Te...” Dul Kenyut malu hati.
”Tuh, masih setengah tampah, lauknya
juga masih melimpah! Habisin gih kalau perut lu muat...“ kata Erte Kacrut
sambil menyambar paha ayam goreng. ”Mental lu di-upgrade tuh, malu-maluin.
Nggak beda sama produk lama...”
Dul Kenyut makan sambil mikir. Sementara Erte
Kacrut larut dalam kesenangan anak-anak yang asyik dapat bacaan baru, dan bisa
membaca dengan perut yang kenyang.
”Siapa yang berani cerita apa yang
sudah dibaca, boleh pilih bukunya buat dibawa pulang...” samar-samar Dul Kenyut
mendengar ucapan ertenya. Ia merasakan suasana yang beda. Ertenya memang luar
biasa. Dan ia harus terus belajar dari kegilaannya...
* Selamat hari buku dan hak cipta sedunia...