Minggu, 27 November 2011

Cukup Tanda Tak Mampu?


            Saya teringat Sersan Daslan Cukup, salah satu tamtama AL yang ikut dalam kompetisi stand up comedy di sebuah televisi. Gayanya lugas, khas Jawa Timuran, dan meski ceritanya sudah sangat generik. Lawakan lama, banyak di google... Tapi yang membuat saya terkesan ketika dia menyebut namanya tiga kali setiap kali opening dan mengakhiri pementasannya.
            ”Cukup... Cukup... Cukup...”
            Ya begitulah kalimat ajaib Pak Sersan di kontes stand up comedy yang konon pertama kali di Indonesia. Meski saya sudah mengenal beberapa nama stand up comedian di Indonesia beberapa tahun sebelumnya. Radio SK yang sudah almarhum adalah salah satu radio yang dulu produktif melahirkan komedian. Hampir semua komedian yang sekarang tampil di tivi, sebagian besar pernah singgah di radio yang tag-nya, radio senyum dan ketawa itu.
            Ada almarhum Taufiq Savalas, komedian stand up yang keren. Lalu Iwel Sastra yang kini punya program di tivi swasta juga seorang komedian stand up awal di jagat hiburan. Dan tentu banyak lagi, apalagi kalau kita lihat pidato pejabat dari level tertinggi, sampai KW-1, 2, 3-nya. Merekalah sejatinya komedian stand up yang paling lucu. Soal konten, tahu sendirilah. Tergantung posisi dan isunya.
            ”Cukup... Cukup... Cukup...”
            Kesederhanaan dan kelugasan Pak Sersan ini benar-benar menggoda saya. Saya tergoda untuk menirukan ucapannya. Walaupun agak sulit menirukan persisnya. Tapi saya yakin, kefasihan karena sebuah usaha intensif. Maka saya sekarang pun mulai sering berucap, ”Cukup!” Awalnya tidak terlalu sering, tapi semakin ke sini, semakin sering. Alah bisa karena biasa, maka saya pun mulai terbiasa mengucap, ”Cukup...”
            Interpretasi saya sebagai orang goblog, kata ’cukup’ tidak dimiliki banyak orang. Karena kebanyakan orang memilih mengoleksi kata ’kurang’ dan ’lagi’. Dalam skala terkecil, suami bisa komplain karena sayur masakan istrinya ’kurang’ garam. Atau ketika membuatkan teh atau kopi ’kurang’ manis. Dan ketika dimasakan rada enak, selalu bilang ’lagi’, kalau tehnya enak bilang ’lagi’, kopinya kental dibikinkan pakai cangkir bilangnya, ”Kurang, lagi dong...”
            Pilihan untuk ’cukup’ memang tidak mudah. Bisa jadi kita merasa ’cukup’, tapi pihak lain mendorong untuk ’lagi’. Atau ada pihak yang merasa ’kurang’ sehingga harus diteruskan. Dorongan dan pengaruh dari luar diri inilah yang sering membuat seseorang berada di altar dilematis. Hidupnya disetir orang banyak di sekelilingnya, karena ’kurang’ dan ’lagi’ itu.
            ”Cukup... Cukup... Cukup...”
            Pak Sersan membawa saya pada sebuah keberanian. Untuk secara sadar mengukur diri dan kemampuan. Tidak selamanya seseorang cocok di segala zaman. Sejarah dengan kejam menelan dan menenggelamkan torehan sejarah cemerlang. Semata-mata ketidakpekaan seseorang meniti zamannya. Hanya orang goblog yang mengulang kebodohan sejarah.  Dan saya tidak mau. Maka sebelum saya kadaluarsa, saya harus berani bilang, ”Cukupkan saya sampai di sini...” 

2 komentar:

  1. merasa cukup kan disarankan sama agama.biasa nyebutnya qanaah. banyak orang yg ga qanaah ama jabatan ujung2nya pait, sepet, nyesek. kita cm ga boleh qanaah dlm ilmu n amal

    *IMHO*

    BalasHapus
  2. kadang kala juga... orang nggak paham dan nggak mau ngerti, bahwa jabatan adalah penjara, dan orang2 yang memaksa orang lain untuk terus menjabat kan sama juga memenjara orang tanpa disadarinya...

    BalasHapus