“Sori ya Dul, kalo gue masih mau ngomong, berarti gue peduli sama
elu…” kata Erte Kacrut sambil menikmati buka puasa di saung. “Kalo gue udah
diem aja, berarti itu udah masa bodoh, terserah elu!”
Dul Kenyut tidak
sendiri, tapi ada beberapa orang lain yang kebetulan buka bareng-bareng di
saung. Membatalkan puasa mereka dengan es buah, serutan agar-agar yang serupa
rumput laut dicampur pepaya potong dadu dan timun suri dengan pewarna manis
sirup yang mereknya terus diputar di tivi. Ehm, slarap-slurup segar…
“Iya, Te…” sahut
Dul Kenyut lirih. Kalah sama suara sendok yang berdentingan.
“Gue sayang sama
elu…” katanya lagi.
Beberapa mata
melihat sumber suara. Erte Kacrut!
“Gue bilang ya,
nggak ada teknologi canggih yang bisa membuat seseorang meloncati waktu untuk
tiba-tiba sampai pada cita-cita dan keinginannya.”
Dul Kenyut diam,
khusyu dengan es buah rasa santapan ruhani. Erte Kacrut memang jadi membosankan
karena banyak bicara, kadang ia sebel. Apalagi kalau ngomong suka nyelekit!
Bikin sakit hati. Meskipun kadang kalau dipikir ya memang bener…
Dia bilang, kalau
mau lebaran ya musti ikutin puasa. Nah, lebaran itu kan bersenang-senang, bar,
lebar… Nah, puasa itu syarat untuk bisa lebar, luas, leluasa, bebas dan kembali
fitrah. Kalau syaratnya tidak dikerjakan, tidak dipenuhi ya jangan harap bisa
menikmati lebaran. Kalaupun ikutan, ya nggak senikmat yang memenuhi syaratnya.
Dan memang semua
itu nggak enak…
Kudu menahan
lapar seharian, padahal biasanya makan sesuka-sukanya. Selama sebulan pula. Biar
berkualitas, masih ada prasyarat tambahan lainnya. Kalau batalnya puasa tidak
makan dan minum serta menahan hawa nafsu tidak berhubungan badan bagi yang
sudah berkeluarga, untuk kualitasnya masih banyak item syaratnya. Menjaga
pandangan, mengendalikan mulut agar jauh dari bergosip, banyak sedekah, banyak
tilawah Al-Quran dsb. Itu kalau puasa kita berkualitas…
“Cita-cita juga
begitu! Semuanya ada syaratnya…” kata Erte Kacrut meletakkan gelasnya. Lalu
menyomot bala-bala di piring beling di depannya. “Nggak bisa tiba-tiba,
langsung sampai dan tercapai begitu saja.”
“Tapi saya nggak
ingin pekerjaan seperti kemaren lagi, Te…”
“Terus lu bisa
apa?”
Dul Kenyut
menggeleng dengan senyum kecut.
“Orang hidup itu
harus realistis. Skill lu apa? Ijazah lu mana? Trus daya bargaining lu apa?
Nggak usah ngimpi deh…”
“Saya bosan, Te…”
“Bosan atau
malas?”
“Saya pengen
kerja yang lain…”
“Ya usaha dong!
Kerjaan itu harus dicari, diusahakan, diciptakan. Kalau Cuma kepingin,
kepingin, tapi tidak ada pergerakan menuju keinginan itu ya namanya sombong!
Biar ilmunya setinggi langit, kalau diam aja ya nggak jadi apa-apa…”
Dul Kenyut merasa
dihantam wajahnya. Heran juga Erte Kacrut sedemikian lugasnya bicara kali ini.
Tanpa humor seperti biasanya. Dul Kenyut sebenarnya tahu, Ertenya ngasih
solusi, kongkrit, cuma dianya aja yang malas. Dan banyak deh alasannya.
Naasnya, Erte Kacrut tahu, kalau argumentasinya cuma alasan, baju kemalasan,
dan aksesori dari ketidaksungguhnya. Dul Kenyut merasa dirinya galau,
mengawang-awang antara keinginan, mimpi, dan angan-angan.
“Hidup itu
realitas hari ini, mimpi itu cita-cita yang diusahakan dari hari ini. Dan dari
jaman jabot sampe sekarang, kalo mau berhasil ya harus kerja keras! Kalau nggak
mau ya sudah, dilindas…”
Erte Kacrut
berlalu, mengambil wudhu. Tapi kalimat terakhirnya membuat Dul Kenyut dan
beberapa orang di saung duduk terpaku. Tajam nian…