Erte Kacrut beringan hati membagi cerita cintanya, silakan dinikmati, semoga menghangatkan cinta kita semua...
“Setidaknya, sampai semester dua aku masih mencintaimu…” Sri mengungkapkan dengan pipi bersemu merah, “Tapi sesudah itu, aku sangat membencimu. Sangat!”
Aku diam,
memaklumkan. Karena memang begitulah yang bisa kulakukan.
“Aku bakar
fotomu!”
Aku mendongak
menatap wajahnya.
“Aku
benci! Benci banget sama kamu…!”
“Ya,
aku memang harus dibenci waktu itu.”
“Kamu
beri aku harapan, aku sudah berharap, kamu pergi tanpa kabar…”
“Ya,
itulah yang terjadi,”
Perempuan
itu tersenyum. Ada pahit mendalam terlihat. Aku merasai kegetirannya.
“Aku
pernah mendoakanmu jelek banget…” ucapnya sembari menahan napas beberapa saat. “Maaf
ya, tapi aku sudah berdoa minta ampun.”
“Nggak
apa-apa, tanpa kamu doakan yang jelek-jelek, aku sudah jelek kok…” sahutku.
Senyumku berbalas. Tidak terlalu lebar, tapi cukuplah menarik urat pipi, hingga
ia tampak cantik. Seperti dulu, puluhan tahun lalu ketika aku menyukainya,
mengiriminya surat dan ucapan-ucapan gombal.
“Kamu
makin dewasa…” katanya lagi.
“Belum
juga…”
“Kamu
juga pinter…”
“Tidak
juga…”
“Aku
ikut senang, melihat kamu sekarang seperti ini. Aku memaklumi yang sudah
berlalu. Aku bertemu kamu, menyukaimu, menyayangimu di saat yang tidak tepat.
Kamunya slenge’an banget…”
Malam
itu kami bicara panjang. Pertemuan pertama sejak puluhan tahun terlewat dengan
berbalut rasa sakit hati. Aku memang mencarinya, untuk meminta maaf. Dan
teknologi mempertemukan kami dalam kondisi sudah bisa saling menerima dan penuh
lapang dada.
“Kamu
cantik…” ujarku setelah menyeruput kopi di sebuah kafe tak jauh dari kantornya.
“Bener…” aku lanjutkan pujianku. Apalagi ketika melihat pipinya bersemu merah.
“Ah,
kamu masih aja gombal!” tampiknya.
Kami
menikmati malam itu. Serasa duniaku lapang lagi. Lepas satu beban yang
bertahun-tahun mengekangku. Mendapat maaf, dimaafkan, adalah hal terindah dalam
hidup. Keindahan yang sulit mencari kesetaraannya. Meminta maaf itu perlu
keberanian, memberi maaf juga perlu kedewasaan.
Malam
itu, kami bertemu sebagai pribadi yang pemberani dan dewasa. Berani saling
mengakui, semua saling mengaku salah, tak ada yang mau mengaku benar. Ah,
betapa sebenarnya kita semua adalah pemberani yang rendah hati. Saling
memuliakan. Meluluh segala kebencian yang sudah tumbuh teramat panjang. Meleleh
semua dendam, menjadi cinta. Cinta dalam aras yang berbeda.
“Maafkan
aku…” hampir bersamaan kalimat itu meluncur.
Menembus
malam kuantarkan dia pulang ke rumahnya. Aku tahu ini salah, tapi lebih salah
membiarkan perempuan pulang malam sendirian. Tercerita bagaimana awal mulanya
kami saling jatuh cinta… Hingga tak terasa aku sampai di depan gerbang
rumahnya.
“Sampai
sini aja ya…” katanya.
Aku
tertawa. Dia melotot. “Kok ketawa sih…”
“Kayak
dulu, kalau nganter nggak boleh sampe rumah,” aku tergelak.
Senyumnya
tersipu. Sambil mengibaskan tangan dia bilang, “Ah, kamu masih gombal aja…”
~ meminta maaf, memaafkan, bisa jadi cinta dan rasa sayang yang sesungguhnya… mengubur sakit hati dan dendam, bisa jadi hakikat cinta yang lebih panjang umurnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar