Erte Kacrut galau akut. Ia merasa
sendiri, merasa tidak berarti dan hampir frustrasi. Sebenernya sih manusiawi,
karena selama masih menjadi manusia dan bernama manusia, yang namanya perasaan
ya naik turun, kadang stabilnya panjang, dan suatu saat goyah seperti ABG
sekolah. Galau...
"Kan ada saya, Te..."
Dul Kenyut berusaha menghibur rasa gundah gulana gurunya.
"Iya, gue tau..."
Singkat, padat! Sebenernya Dul
Kenyut agak tersinggung, karena ia sudah menyiapkan lahir dan batinnya untuk
berani mengungkapkan isi hatinya. Mencari cara agar tampak wajar dan biasa.
Juga menunggu waktu, agar bisa pas dan tidak menambah runyam pikirannya. Tapi
ya sudahlah...
Toh, wajar saja Erte Kacrut
begitu. Yang dipikirkan banyak, dan yang banyak itu nyaris semuanya urusan orang
lain. Sama sekali bukan urusannya...
Lha orang kehilangan sendok, tanya bagaimana nyarinya ke dia.
Ribut sama suami yang sudah menjadi pilihannya, kok larinya ke ertenya minta
solusi damai. Sampai urusan anak susah mandi, main melulu, dan menyangkal perintah
orangtuanya ya urusannya jadi ke ertenya. Aneh memang...
Nyaris semua yang curhat, tak
pernah berpikir apakah Erte Kacrut sudah sarapan ketika dia pagi buta datang
dengan keluh kesahnya hingga jam sembilan. Lalu apakah ada yang mikir, kalau
kalau ertenya juga punya masalah sendiri. Kesulitan sendiri?
Ya walaupun kesulitan Erte Kacrut
tidak rumit dan ruwet. Tapi kan namanya juga manusia. Dul Kenyut yakin, haqul
yakin, ertenya bisa mengatasi itu semua. Baginya Erte Kacrut adalah orang yang
sudah selesai dengan dirinya. Orang yang sudah bisa mengatasi dirinya. Tidak
seperti Dul Kenyut dan warga Kampung Kacrut yang masih terus saja berkutat
dengan urusan perut dan sekitarnya. Nggak punya beras pusing, nggak diladeni
istrinya tambah pusing. Apalagi model Dul Kenyut yang bala tentaranya sudah
wajib nikah tapi nggak ada kemampuan dan keberanian mengeksekusinya. Bawaannya
pusing terus. Lihat kucing bunting, otaknya konslet, "Masak kalah ama
kucing!" Tapi ya gitu aja...
Erte Kacrut berusaha mengatasi
dirinya sendiri, menyudahi urusan dengan dirinya sendiri. Selesai dengan
dirinya sendiri. Dia sudah berada di ruang 'betapa tidak pentingnya dirinya
termasuk kepentingannya'. Untuk beberapa hal dan waktu mungkin dia bisa, tapi
sesekali waktu dia gagal. Tidak bisa mengatasi. Dan itu wajar.
Tidak banyak orang yang mau paham, atau sekadar mengerti, bahwa
Erte Kacrut juga manusia yang butuh mencumbui privasinya. Dia pasti punya
kegelisahan, meski beda kadarnya dengan Dul Kenyut, Mak Eroh atau siapa lah di
kampung itu.
Tapi kalaupun paham, Dul Kenyut
pun tak bisa menolong apa-apa. "Bisa dibantu Te, yah barangkali lagi bete,
pengen nampar orang, saya siapkan nih pipi saya kanan kiri, silakan
sepuasanya..." Dul Kenyut pun tak yakin, Erte Kacrut akan menerima tawarannya.
Mana mungkin... Satu-satunya cara ya memberi ruang untuk privasinya. Tapi
yaitu, ketika ia memberi ruang, yang lain terus nyeruduk dengan berbagai
persoalan yang memenuhi ruangnya Erte Kacrut.
"Mungkin harus dibelikan
tiket pesawat dan akomodasi hotel, biar Erte Kacrut bisa liburan sendiri ke
Bali sepuasnya..." Batin Dul Kenyut. "Tapi duitnya dari mana..."
Dul Kenyut terus membaca
kegalauan ertenya. Ikatan batinnya yang cukup dekat, meski tidak selalu benar,
tapi dia bisa menangkap, ada bahasa tubuh yang terbaca dan tidak biasa. Dan itu
galau…
“Ngopi yuk, Dul…” ajak Erte
Kacrut tiba-tiba.
“Kan ini puasa, Te!” jawab Dul
Kenyut setelah rasa kagetnya hilang. Erte Kacrut hanya tersenyum sambil menepuk
jidatnya.
“Lupa gue…”
“Biasa Te, banyak pikiran bikin
kita jadi pelupa…”
“Ah, teori apa lagi itu…” sahut
Erte Kacrut sambil berlalu ke pancuran. Menggulung sarung lebih tinggi, lalu
melakukan semua gerakan dan basuhan sebagaimana halnya berwudhu. Dul Kenyut
diam terpaku, “Ya Allah, kuatkan dia. Jangan bebani tanpa dia bisa
mengatasinya. Berilah dia keluangan, keluangan rezeki, keluangan waktu dan
keluangan bersama-Mu, agar tak lagi galau hatinya. Kami sungguh membutuhkannya…”
Mata Dul Kenyut panas, ia ingin
menangis. Betapa ia ingin memberi waktunya yang sangat luang untuk ertenya,
agar dia tak diburu-buru waktu dan punya waktu untuk dirinya sendiri.
Preeetttt….
Astaghfirullah, sarungnya Erte
Kacrut kesangkut dan robek. Ah, entah siapa yang berpikir membelikannya sarung.
Setahu Dul Kenyut, itulah satu-satunya sarung yang dia punya. “Ya Tuhan, kenapa
aku jadi lemah begini, tak bisa berbuat apa-apa untuk orang yang kucintai!”
jerit hati Dul Kenyut… kali ini dengan mata dan pipi yang basah. Apa sih rasanya, pengen bantu orang yang kita cintai tapi kita nggak bisa ngapa-ngapain... ihiks!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar