Senin, 23 April 2012

Tumpeng Rasa Khawatir


“Menulis adalah keberanian…” Erte Kacrut membuka pidatonya, “Itu kata sastrawan Pramudya Ananta Toer. Nah, kalau menulis adalah keberanian, berarti kita mungkin bisa bersepakat bahwa membaca adalah kelebihberanian…”
            Dul Kenyut menyambut dengan tepuk tangan, beberapa orang yang hadir juga tepuk tangan. Anak-anak yang jumlahnya puluhan pun tepuk tangan. Entah mereka mengerti atau tidak dengan omongan ertenya. Yang penting tepuk tangan... Orang-orang yang duduk di bangku depan mungkin paham, tapi deretan bangku berikutnya belum tentu. Mungkin buat mereka, tumpeng buat Mak Eroh lebih menarik.
            Atau jangan-jangan...
            ”Menjadi orang yang berani dan memiliki kelebihberanian harus bisa menahan diri dari nafsu lapar mata dan lapar perut. Persoalannya adalah, untuk dua hal itu sepertinya sulit dikendalikan buat kita...”
            ”Betul, Te...” celetuk seseorang disambut dengan tepuk tangan yang lebih bergemuruh. Lebih ramai dari gelombang tepuk tangan yang pertama. Dul Kenyut celingukan, matanya bersitatap dengan ertenya dengan tatapan bingung.
            ”Sepakat... untuk itu saya akan langsung memotong tumpeng ini,” Erte Kacrut tahu persis kalau bakal mubazir pidatonya. Nggak mungkin didengar. Dan ia pun segera menyudahi. Tahu habis pidato bakal ada potong tumpeng, orang-orang tua di barisan depan keras sekali menjawab salamnya.
            Begitu tumpeng diangkat Dul Kenyut, ketahuan banget itu wajah sumringah para tamu. Tapi bukan Erte Kacrut kalau nggak banyak akal, ia memanggil semua anak-anak yang ada untuk ke depan, duduk mengelilingi tumpeng. Dengan tertib mereka duduk bersila. Wajahnya beraneka macam rona. Ada yang gembira, senang, biasa saja, bahkan ada yang begong, khas anak-anak, tulus. Kontras dengan wajah para pinitua yang duduk di bangku depan. Agak bingung, agak khawatir, dan penuh dengan rasa deg-degan...
            ”Ya, mari kita berdoa, setelah itu kita makan tumpengnya...” kata Erte Kacrut.
            Doa selesai, tumpeng tidak dipotong....
            ”Ayo anak-anak, makan yang kenyang, jangan lupa baca doa ya... jangan berebut seperti orang yang sudah sering makan tumpeng!” kata Erte Kacrut.
            Dul Kenyut bengong. Matanya bolak-balik memandang ke anak-anak yang lahap tapi teratur makan tumpeng, lalu memandang Erte Kacrut yang sumringah. Erte edan! Batinnya. Matanya beralih ke para tamu di deretan depan, wajah-wajah bingung, kecewa dan jakun yang terus naik turun tanpa henti karena menelan air liur.
            ”Biarin anak-anak dulu ya Bapak-bapak,” kata Erte Kacrut, ”Mereka kan belum pernah makan tumpeng, kalau sampeyan semua kan udah sering...”
            Alhasil, satu-satu orang tua itu beranjak pulang ada yang pamit, ada yang tidak pamit, ada yang nyelonong. Tapi semua sepakat, pergi sambil mengumpat. Dasar erte edan, nggak ngormati orangtua!
            ”Eduuuun!”
            Erte Kacrut cuma cengengesan. Dul Kenyut memandangi ertenya dengan jakun naik turun juga. Ngiler dari tadi pengen makan tumpengnya Mak Eroh.
            ”Situ gimana sih Te, saya yang angkat dan bawa-bawa tumpeng dari warung, masak nggak kebagian...” protes Dul Kenyut.
            ”Lu aja yang takut nggak kebagian, liat tuh!” Erte Kacrut matanya mengarah ke tumpeng. ”Anak-anak mah tahu diri, ngukur perutnya, nggak serakah kaya orang tua. Sama aja dong lu sama mereka, takut nggak kebagian...”
            Dul Kenyut tersipu, tapi jakunnya tetap naik turun.
            ”Siapa yang udah...” tanya Erte Kacrut.
            Beberapa anak tunjuk tangan. Tertib!
            ”Nah, yang sudah ke saung ya... silakan baca buku sepuasnya. Yang belum selesai nyusul ya...” Erte Kacrut mendahului langkah ke saung. Ia sengaja mengumpulkan buku-buku buat anak-anak Kampung Kacrut. Dan ternyata, antusiasme membaca mereka sama antuasiasnya dengan ketika mereka makan tumpeng.
            ”Masih takut nggak kebagian, Dul...” Erte Kacrut menepuk baru Dul Kenyut.
            ”Nggak Te...” Dul Kenyut malu hati.
            ”Tuh, masih setengah tampah, lauknya juga masih melimpah! Habisin gih kalau perut lu muat...“ kata Erte Kacrut sambil menyambar paha ayam goreng. ”Mental lu di-upgrade tuh, malu-maluin. Nggak beda sama produk lama...”
            Dul Kenyut makan sambil mikir. Sementara Erte Kacrut larut dalam kesenangan anak-anak yang asyik dapat bacaan baru, dan bisa membaca dengan perut yang kenyang.
            ”Siapa yang berani cerita apa yang sudah dibaca, boleh pilih bukunya buat dibawa pulang...” samar-samar Dul Kenyut mendengar ucapan ertenya. Ia merasakan suasana yang beda. Ertenya memang luar biasa. Dan ia harus terus belajar dari kegilaannya...

* Selamat hari buku dan hak cipta sedunia...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar