Senin, 30 Juli 2012

Karena Cinta...



“Sori ya Dul, kalo gue masih mau ngomong, berarti gue peduli sama elu…” kata Erte Kacrut sambil menikmati buka puasa di saung. “Kalo gue udah diem aja, berarti itu udah masa bodoh, terserah elu!”
            Dul Kenyut tidak sendiri, tapi ada beberapa orang lain yang kebetulan buka bareng-bareng di saung. Membatalkan puasa mereka dengan es buah, serutan agar-agar yang serupa rumput laut dicampur pepaya potong dadu dan timun suri dengan pewarna manis sirup yang mereknya terus diputar di tivi. Ehm, slarap-slurup segar…
            “Iya, Te…” sahut Dul Kenyut lirih. Kalah sama suara sendok yang berdentingan.
            “Gue sayang sama elu…” katanya lagi.
            Beberapa mata melihat sumber suara. Erte Kacrut!
            “Gue bilang ya, nggak ada teknologi canggih yang bisa membuat seseorang meloncati waktu untuk tiba-tiba sampai pada cita-cita dan keinginannya.”
            Dul Kenyut diam, khusyu dengan es buah rasa santapan ruhani. Erte Kacrut memang jadi membosankan karena banyak bicara, kadang ia sebel. Apalagi kalau ngomong suka nyelekit! Bikin sakit hati. Meskipun kadang kalau dipikir ya memang bener…
            Dia bilang, kalau mau lebaran ya musti ikutin puasa. Nah, lebaran itu kan bersenang-senang, bar, lebar… Nah, puasa itu syarat untuk bisa lebar, luas, leluasa, bebas dan kembali fitrah. Kalau syaratnya tidak dikerjakan, tidak dipenuhi ya jangan harap bisa menikmati lebaran. Kalaupun ikutan, ya nggak senikmat yang memenuhi syaratnya.
            Dan memang semua itu nggak enak…
            Kudu menahan lapar seharian, padahal biasanya makan sesuka-sukanya. Selama sebulan pula. Biar berkualitas, masih ada prasyarat tambahan lainnya. Kalau batalnya puasa tidak makan dan minum serta menahan hawa nafsu tidak berhubungan badan bagi yang sudah berkeluarga, untuk kualitasnya masih banyak item syaratnya. Menjaga pandangan, mengendalikan mulut agar jauh dari bergosip, banyak sedekah, banyak tilawah Al-Quran dsb. Itu kalau puasa kita berkualitas…
            “Cita-cita juga begitu! Semuanya ada syaratnya…” kata Erte Kacrut meletakkan gelasnya. Lalu menyomot bala-bala di piring beling di depannya. “Nggak bisa tiba-tiba, langsung sampai dan tercapai begitu saja.”
            “Tapi saya nggak ingin pekerjaan seperti kemaren lagi, Te…”
            “Terus lu bisa apa?”
            Dul Kenyut menggeleng dengan senyum kecut.
            “Orang hidup itu harus realistis. Skill lu apa? Ijazah lu mana? Trus daya bargaining lu apa? Nggak usah ngimpi deh…”
            “Saya bosan, Te…”
            “Bosan atau malas?”
            “Saya pengen kerja yang lain…”
            “Ya usaha dong! Kerjaan itu harus dicari, diusahakan, diciptakan. Kalau Cuma kepingin, kepingin, tapi tidak ada pergerakan menuju keinginan itu ya namanya sombong! Biar ilmunya setinggi langit, kalau diam aja ya nggak jadi apa-apa…”
            Dul Kenyut merasa dihantam wajahnya. Heran juga Erte Kacrut sedemikian lugasnya bicara kali ini. Tanpa humor seperti biasanya. Dul Kenyut sebenarnya tahu, Ertenya ngasih solusi, kongkrit, cuma dianya aja yang malas. Dan banyak deh alasannya. Naasnya, Erte Kacrut tahu, kalau argumentasinya cuma alasan, baju kemalasan, dan aksesori dari ketidaksungguhnya. Dul Kenyut merasa dirinya galau, mengawang-awang antara keinginan, mimpi, dan angan-angan.
            “Hidup itu realitas hari ini, mimpi itu cita-cita yang diusahakan dari hari ini. Dan dari jaman jabot sampe sekarang, kalo mau berhasil ya harus kerja keras! Kalau nggak mau ya sudah, dilindas…”
            Erte Kacrut berlalu, mengambil wudhu. Tapi kalimat terakhirnya membuat Dul Kenyut dan beberapa orang di saung duduk terpaku. Tajam nian…

Kamis, 26 Juli 2012

Cinta Jangan Kau Pergi

Erte Kacrut beringan hati membagi cerita cintanya, silakan dinikmati, semoga menghangatkan cinta kita semua...




“Setidaknya, sampai semester dua aku masih mencintaimu…” Sri mengungkapkan dengan pipi bersemu merah, “Tapi sesudah itu, aku sangat membencimu. Sangat!”
Aku diam, memaklumkan. Karena memang begitulah yang bisa kulakukan.
“Aku bakar fotomu!”
Aku mendongak menatap wajahnya.
            “Aku benci! Benci banget sama kamu…!”
            “Ya, aku memang harus dibenci waktu itu.”
            “Kamu beri aku harapan, aku sudah berharap, kamu pergi tanpa kabar…”
            “Ya, itulah yang terjadi,”
            Perempuan itu tersenyum. Ada pahit mendalam terlihat. Aku merasai kegetirannya.
            “Aku pernah mendoakanmu jelek banget…” ucapnya sembari menahan napas beberapa saat. “Maaf ya, tapi aku sudah berdoa minta ampun.”
            “Nggak apa-apa, tanpa kamu doakan yang jelek-jelek, aku sudah jelek kok…” sahutku. Senyumku berbalas. Tidak terlalu lebar, tapi cukuplah menarik urat pipi, hingga ia tampak cantik. Seperti dulu, puluhan tahun lalu ketika aku menyukainya, mengiriminya surat dan ucapan-ucapan gombal.
            “Kamu makin dewasa…” katanya lagi.
            “Belum juga…”
            “Kamu juga pinter…”
            “Tidak juga…”
            “Aku ikut senang, melihat kamu sekarang seperti ini. Aku memaklumi yang sudah berlalu. Aku bertemu kamu, menyukaimu, menyayangimu di saat yang tidak tepat. Kamunya slenge’an banget…”
            Malam itu kami bicara panjang. Pertemuan pertama sejak puluhan tahun terlewat dengan berbalut rasa sakit hati. Aku memang mencarinya, untuk meminta maaf. Dan teknologi mempertemukan kami dalam kondisi sudah bisa saling menerima dan penuh lapang dada.
            “Kamu cantik…” ujarku setelah menyeruput kopi di sebuah kafe tak jauh dari kantornya. “Bener…” aku lanjutkan pujianku. Apalagi ketika melihat pipinya bersemu merah.
            “Ah, kamu masih aja gombal!” tampiknya.
            Kami menikmati malam itu. Serasa duniaku lapang lagi. Lepas satu beban yang bertahun-tahun mengekangku. Mendapat maaf, dimaafkan, adalah hal terindah dalam hidup. Keindahan yang sulit mencari kesetaraannya. Meminta maaf itu perlu keberanian, memberi maaf juga perlu kedewasaan.
            Malam itu, kami bertemu sebagai pribadi yang pemberani dan dewasa. Berani saling mengakui, semua saling mengaku salah, tak ada yang mau mengaku benar. Ah, betapa sebenarnya kita semua adalah pemberani yang rendah hati. Saling memuliakan. Meluluh segala kebencian yang sudah tumbuh teramat panjang. Meleleh semua dendam, menjadi cinta. Cinta dalam aras yang berbeda.
            “Maafkan aku…” hampir bersamaan kalimat itu meluncur.
            Menembus malam kuantarkan dia pulang ke rumahnya. Aku tahu ini salah, tapi lebih salah membiarkan perempuan pulang malam sendirian. Tercerita bagaimana awal mulanya kami saling jatuh cinta… Hingga tak terasa aku sampai di depan gerbang rumahnya.
            “Sampai sini aja ya…” katanya.
            Aku tertawa. Dia melotot. “Kok ketawa sih…”
            “Kayak dulu, kalau nganter nggak boleh sampe rumah,” aku tergelak.
            Senyumnya tersipu. Sambil mengibaskan tangan dia bilang, “Ah, kamu masih gombal aja…”



~ meminta maaf, memaafkan, bisa jadi cinta dan rasa sayang yang sesungguhnya… mengubur sakit hati dan dendam, bisa jadi hakikat cinta yang lebih panjang umurnya.

Rabu, 25 Juli 2012

Rindu - Aku Tertatih Mengejarmu

Rindu adalah ruang ungkap kerinduan Erte Kacrut kepada orang yang sangat dicintai dan dipanutinya, almarhumah Ibunya. Sambil menyertakan doa dan seuntai Al-Fatihah, yuk ikuti saja kisah-kisahnya yang menyentuh...


“Mam, sahur yuk…” aku membuka pintu kamarnya perlahan. Menunggu jeda bacaan tilawahnya. Ibuku pasti menengok sambil tersenyum, lalu bertanya jam berapa. Aku akan menjawabnya. Dan dia bilang, “Sebentar ya, tanggung…”
Begitulah, ada gereget ruhiyah yang lebih dalam diri ibuku setiap bulan ramadhan. Termasuk membaca Al-Quran setiap malam dan ba’da shalat-shalat sunnahnya. Ehm, aku malu dibuatnya. Terlalu laju, terlalu kencang arus menghambanya. Aku jauh sekali tertinggal…
Memasuki minggu pertama ramadhan kali ini, adalah ramadhan kedua tanpa ibuku. Tuhan yang Maha Cinta lebih suka dia berada di sisi-Nya. Semoga kebahagiaan senantiasa baginya di sana. Aku hanya punya doa, hanya doa! Tidak punya yang lainnya untuk membuatnya bahagia.
Tak ada lagi kebahagiaan kecil dengan mengajaknya berbuka dengan sirup Campolay rasa pisang susu kesukaannya. Betapa wajah itu tampak bahagia bila beduk maghrib nyaris tiba, dengan semangkuk ramuan es buah bercampur sirop khas Cirebon itu dan susu kental manis yang terhidang di meja. Wajah bahagianya akan lebih meruar bila segenap orang yang dicintainya turut duduk bersama, mengelilingi meja makan jati itu bersamanya.
Berloncatan banyak cerita…
Tentang masa kecilnya, tentang masa tak beruntungnya.
“Eh, itu sebelah udah dikasih?” pertanyaan yang selalu keluar sebelum sajian berbuka disantap bersama. ‘Sebelah’ yang dimaksudnya adalah tetangga depan dan samping rumah. Walau hanya berbagi semangkuk es campur, wajib dibaginya. Walau hanya beberapa potong gorengan, mesti dibaginya. Begitulah…
Harus berbagi…
Harus dibagi…
“Masjid udah dianterin?” pertanyaan itu sekadar mengingatkan orang rumah. Maksudnya, tajil buat buka orang-orang di masjid sudah diantar apa belum. Tak ada yang membantah, semua bergerak. Mengantarkan…
Dan…
Dia akan memasak sendiri untuk semua itu. Ya, memasak atau membuat kue untuk orang-orang yang akan dibaginya. Wajahnya tak menampak lelah. Ia akan lebih cerah bila orang dari masjid mengembalikan wadah dan teko dalam keadaan tandas. Habis tak bersisa.
“Alhamdulillah, kurang nggak?”
Ya Allah, terbuat dari apakah ibuku hingga dia begitu baiknya. Aku tertatih-tatih mengejarnya. Aku tak sepiawai dia membagi kebahagiaan kepada sesamanya. Tak sekonsinten dan terjaga sepertinya. Sungguh aku tak seujung kuku mewarisinya…
Allahummagfirlaha war hamha wa’afiha wa’fu ‘anha
Lapanglah kuburmu, Mam…

Senin, 23 Juli 2012

Galau Akut


Erte Kacrut galau akut. Ia merasa sendiri, merasa tidak berarti dan hampir frustrasi. Sebenernya sih manusiawi, karena selama masih menjadi manusia dan bernama manusia, yang namanya perasaan ya naik turun, kadang stabilnya panjang, dan suatu saat goyah seperti ABG sekolah. Galau...
"Kan ada saya, Te..." Dul Kenyut berusaha menghibur rasa gundah gulana gurunya.
"Iya, gue tau..."
Singkat, padat! Sebenernya Dul Kenyut agak tersinggung, karena ia sudah menyiapkan lahir dan batinnya untuk berani mengungkapkan isi hatinya. Mencari cara agar tampak wajar dan biasa. Juga menunggu waktu, agar bisa pas dan tidak menambah runyam pikirannya. Tapi ya sudahlah...
Toh, wajar saja Erte Kacrut begitu. Yang dipikirkan banyak, dan yang banyak itu nyaris semuanya urusan orang lain. Sama sekali bukan urusannya...
Lha orang kehilangan sendok, tanya bagaimana nyarinya ke dia. Ribut sama suami yang sudah menjadi pilihannya, kok larinya ke ertenya minta solusi damai. Sampai urusan anak susah mandi, main melulu, dan menyangkal perintah orangtuanya ya urusannya jadi ke ertenya. Aneh memang...
Nyaris semua yang curhat, tak pernah berpikir apakah Erte Kacrut sudah sarapan ketika dia pagi buta datang dengan keluh kesahnya hingga jam sembilan. Lalu apakah ada yang mikir, kalau kalau ertenya juga punya masalah sendiri. Kesulitan sendiri?
Ya walaupun kesulitan Erte Kacrut tidak rumit dan ruwet. Tapi kan namanya juga manusia. Dul Kenyut yakin, haqul yakin, ertenya bisa mengatasi itu semua. Baginya Erte Kacrut adalah orang yang sudah selesai dengan dirinya. Orang yang sudah bisa mengatasi dirinya. Tidak seperti Dul Kenyut dan warga Kampung Kacrut yang masih terus saja berkutat dengan urusan perut dan sekitarnya. Nggak punya beras pusing, nggak diladeni istrinya tambah pusing. Apalagi model Dul Kenyut yang bala tentaranya sudah wajib nikah tapi nggak ada kemampuan dan keberanian mengeksekusinya. Bawaannya pusing terus. Lihat kucing bunting, otaknya konslet, "Masak kalah ama kucing!" Tapi ya gitu aja...
Erte Kacrut berusaha mengatasi dirinya sendiri, menyudahi urusan dengan dirinya sendiri. Selesai dengan dirinya sendiri. Dia sudah berada di ruang 'betapa tidak pentingnya dirinya termasuk kepentingannya'. Untuk beberapa hal dan waktu mungkin dia bisa, tapi sesekali waktu dia gagal. Tidak bisa mengatasi. Dan itu wajar.
Tidak banyak orang yang mau paham, atau sekadar mengerti, bahwa Erte Kacrut juga manusia yang butuh mencumbui privasinya. Dia pasti punya kegelisahan, meski beda kadarnya dengan Dul Kenyut, Mak Eroh atau siapa lah di kampung itu. 
Tapi kalaupun paham, Dul Kenyut pun tak bisa menolong apa-apa. "Bisa dibantu Te, yah barangkali lagi bete, pengen nampar orang, saya siapkan nih pipi saya kanan kiri, silakan sepuasanya..." Dul Kenyut pun tak yakin, Erte Kacrut akan menerima tawarannya. Mana mungkin... Satu-satunya cara ya memberi ruang untuk privasinya. Tapi yaitu, ketika ia memberi ruang, yang lain terus nyeruduk dengan berbagai persoalan yang memenuhi ruangnya Erte Kacrut.
"Mungkin harus dibelikan tiket pesawat dan akomodasi hotel, biar Erte Kacrut bisa liburan sendiri ke Bali sepuasnya..." Batin Dul Kenyut. "Tapi duitnya dari mana..."
Dul Kenyut terus membaca kegalauan ertenya. Ikatan batinnya yang cukup dekat, meski tidak selalu benar, tapi dia bisa menangkap, ada bahasa tubuh yang terbaca dan tidak biasa. Dan itu galau…
“Ngopi yuk, Dul…” ajak Erte Kacrut tiba-tiba.
“Kan ini puasa, Te!” jawab Dul Kenyut setelah rasa kagetnya hilang. Erte Kacrut hanya tersenyum sambil menepuk jidatnya.
“Lupa gue…”
“Biasa Te, banyak pikiran bikin kita jadi pelupa…”
“Ah, teori apa lagi itu…” sahut Erte Kacrut sambil berlalu ke pancuran. Menggulung sarung lebih tinggi, lalu melakukan semua gerakan dan basuhan sebagaimana halnya berwudhu. Dul Kenyut diam terpaku, “Ya Allah, kuatkan dia. Jangan bebani tanpa dia bisa mengatasinya. Berilah dia keluangan, keluangan rezeki, keluangan waktu dan keluangan bersama-Mu, agar tak lagi galau hatinya. Kami sungguh membutuhkannya…”
Mata Dul Kenyut panas, ia ingin menangis. Betapa ia ingin memberi waktunya yang sangat luang untuk ertenya, agar dia tak diburu-buru waktu dan punya waktu untuk dirinya sendiri.
Preeetttt….    
Astaghfirullah, sarungnya Erte Kacrut kesangkut dan robek. Ah, entah siapa yang berpikir membelikannya sarung. Setahu Dul Kenyut, itulah satu-satunya sarung yang dia punya. “Ya Tuhan, kenapa aku jadi lemah begini, tak bisa berbuat apa-apa untuk orang yang kucintai!” jerit hati Dul Kenyut… kali ini dengan mata dan pipi yang basah. Apa sih rasanya, pengen bantu orang yang kita cintai tapi kita nggak bisa ngapa-ngapain... ihiks!

Rabu, 18 Juli 2012

Damailah Cinta...

Erte Kacrut beringan hati, membagi cerita cintanya, silakan... semoga menghangatkan cinta kita semua... 



Untuk Ning...

Aku orang yang tumbuh dalam damai...
Bukan berarti aku tak pernah melihat kekerasan. Aku juga mengalami, sekali dua kali. Tapi aku menganggapnya wajar, karena memang aku sudah bersepakat bahwa kesalahan dan pelanggaran terhadap kesepakatan akan mendapat ganjaran. Aku sadar, maka aku tidak menyesal pernah mengalami kekerasan itu. Karena itu ganjaran dari kesalahan yang aku lakukan.

Orangtua yang mencubit anaknya karena gemas, memukul pantatnya atau tepatnya menempelkan dengan sedikit tepukan, bukanlah untuk menyakiti. Karena tadi, cara untuk mengembalikan ingatan, bahwa ada yang dilanggar, ada yang sudah terlewatkan, atau kelewatan. Dan itu bisa membahayakan, ya membahayakan diri kita. Sebuah cara menyayangi...

Tidak ada kebencian! Tulus semata-mata cinta...

Maka ketika aku pernah terkaget-kaget, ketika orang yang katanya cinta dan mencintaiku, ternyata mengubah wajah jelitanya menjadi wajah antagonis seperti perempuan dalam drama layar kaca. Bicaranya memaki, matanya menyala, wajahnya memerah seolah semua darah sudah naik ke kepalanya. Kata-katanya penuh tekanan, penuh kebencian.

Aku terbengong-bengong!

Sungguh aku tidak sedang di sebuah jalanan yang karena menyeberang sembarangan lalu banyak orang menyumpahiku. Aku juga tidak sedang di pasar yang jalan tak melihat keadaan, sehingga menabrak dagangan orang, lalu tumpah berantakan hingga aku diserapahi dengan kata-kata terkasar.

Jadikanlah kekasih, bila ingin tahu siapa dia sesungguhnya...
Aku hanya mengadaptasi kata bijak, untuk menguji karakter seseorang, beri dia kekuasaan. Maka kita akan melihat karakter sebenarnya. Mungkin dalam hal ini, beri ruang untuk mencintaiku, hingga aku tahu seberapa cintanya padaku. Jangan diikuti, ini sungguh ngawur...

Setidaknya memang harus ada ruang. Entah apalah itu namanya. Ruang untuk menunjukkan apakah mencintai itu benar-benar penuh kesungguhan untuk menyayangi atau sekadar mencintai dalam ruang rasa saja. Rasanya saja mencintai, tapi tidak dengan out put-nya. Aku merasa, mencintai itu mengalirkan kasih sayang seperti Tuhan menyertai seluruh penciptaannya dengan kerahmanrahimannya...

Menyayangi dengan kesungguhan dengan segala kebaikan, untuk kelebihbaikan, dan dengan cara-cara yang baik. Mengasihi dengan jujur, apa adanya, demi sebuah kedamaian hati, kenyamanan ruhani, dan keindahan berbagi.

"Ning, maafkan aku, telah membuatmu menyala dalam amarah dan dendam panjang..."

Jeda waktu yang panjang, telah membuat kita lebih paham apa itu sayang dan menyayangi. Dan kita bisa berdialog dalam damai, dalam aura cinta yang sebenarnya. Meski aku tak memilikimu, tapi aku merasakan kamu menyayangi dan mencintaiku. Dan kamu tampak bahagia, seperti juga aku. Kita tidak akan sebahagia ini kalau memaksa diri untuk terus bersamamu waktu itu...

Terima kasih telah mengingatkan untuk menjaga kesehatanku... ehm!

~ Ning adalah kejernihan, seharusnya aku bisa berkaca dalam kejernihanmu... 

Senin, 23 April 2012

Tumpeng Rasa Khawatir


“Menulis adalah keberanian…” Erte Kacrut membuka pidatonya, “Itu kata sastrawan Pramudya Ananta Toer. Nah, kalau menulis adalah keberanian, berarti kita mungkin bisa bersepakat bahwa membaca adalah kelebihberanian…”
            Dul Kenyut menyambut dengan tepuk tangan, beberapa orang yang hadir juga tepuk tangan. Anak-anak yang jumlahnya puluhan pun tepuk tangan. Entah mereka mengerti atau tidak dengan omongan ertenya. Yang penting tepuk tangan... Orang-orang yang duduk di bangku depan mungkin paham, tapi deretan bangku berikutnya belum tentu. Mungkin buat mereka, tumpeng buat Mak Eroh lebih menarik.
            Atau jangan-jangan...
            ”Menjadi orang yang berani dan memiliki kelebihberanian harus bisa menahan diri dari nafsu lapar mata dan lapar perut. Persoalannya adalah, untuk dua hal itu sepertinya sulit dikendalikan buat kita...”
            ”Betul, Te...” celetuk seseorang disambut dengan tepuk tangan yang lebih bergemuruh. Lebih ramai dari gelombang tepuk tangan yang pertama. Dul Kenyut celingukan, matanya bersitatap dengan ertenya dengan tatapan bingung.
            ”Sepakat... untuk itu saya akan langsung memotong tumpeng ini,” Erte Kacrut tahu persis kalau bakal mubazir pidatonya. Nggak mungkin didengar. Dan ia pun segera menyudahi. Tahu habis pidato bakal ada potong tumpeng, orang-orang tua di barisan depan keras sekali menjawab salamnya.
            Begitu tumpeng diangkat Dul Kenyut, ketahuan banget itu wajah sumringah para tamu. Tapi bukan Erte Kacrut kalau nggak banyak akal, ia memanggil semua anak-anak yang ada untuk ke depan, duduk mengelilingi tumpeng. Dengan tertib mereka duduk bersila. Wajahnya beraneka macam rona. Ada yang gembira, senang, biasa saja, bahkan ada yang begong, khas anak-anak, tulus. Kontras dengan wajah para pinitua yang duduk di bangku depan. Agak bingung, agak khawatir, dan penuh dengan rasa deg-degan...
            ”Ya, mari kita berdoa, setelah itu kita makan tumpengnya...” kata Erte Kacrut.
            Doa selesai, tumpeng tidak dipotong....
            ”Ayo anak-anak, makan yang kenyang, jangan lupa baca doa ya... jangan berebut seperti orang yang sudah sering makan tumpeng!” kata Erte Kacrut.
            Dul Kenyut bengong. Matanya bolak-balik memandang ke anak-anak yang lahap tapi teratur makan tumpeng, lalu memandang Erte Kacrut yang sumringah. Erte edan! Batinnya. Matanya beralih ke para tamu di deretan depan, wajah-wajah bingung, kecewa dan jakun yang terus naik turun tanpa henti karena menelan air liur.
            ”Biarin anak-anak dulu ya Bapak-bapak,” kata Erte Kacrut, ”Mereka kan belum pernah makan tumpeng, kalau sampeyan semua kan udah sering...”
            Alhasil, satu-satu orang tua itu beranjak pulang ada yang pamit, ada yang tidak pamit, ada yang nyelonong. Tapi semua sepakat, pergi sambil mengumpat. Dasar erte edan, nggak ngormati orangtua!
            ”Eduuuun!”
            Erte Kacrut cuma cengengesan. Dul Kenyut memandangi ertenya dengan jakun naik turun juga. Ngiler dari tadi pengen makan tumpengnya Mak Eroh.
            ”Situ gimana sih Te, saya yang angkat dan bawa-bawa tumpeng dari warung, masak nggak kebagian...” protes Dul Kenyut.
            ”Lu aja yang takut nggak kebagian, liat tuh!” Erte Kacrut matanya mengarah ke tumpeng. ”Anak-anak mah tahu diri, ngukur perutnya, nggak serakah kaya orang tua. Sama aja dong lu sama mereka, takut nggak kebagian...”
            Dul Kenyut tersipu, tapi jakunnya tetap naik turun.
            ”Siapa yang udah...” tanya Erte Kacrut.
            Beberapa anak tunjuk tangan. Tertib!
            ”Nah, yang sudah ke saung ya... silakan baca buku sepuasnya. Yang belum selesai nyusul ya...” Erte Kacrut mendahului langkah ke saung. Ia sengaja mengumpulkan buku-buku buat anak-anak Kampung Kacrut. Dan ternyata, antusiasme membaca mereka sama antuasiasnya dengan ketika mereka makan tumpeng.
            ”Masih takut nggak kebagian, Dul...” Erte Kacrut menepuk baru Dul Kenyut.
            ”Nggak Te...” Dul Kenyut malu hati.
            ”Tuh, masih setengah tampah, lauknya juga masih melimpah! Habisin gih kalau perut lu muat...“ kata Erte Kacrut sambil menyambar paha ayam goreng. ”Mental lu di-upgrade tuh, malu-maluin. Nggak beda sama produk lama...”
            Dul Kenyut makan sambil mikir. Sementara Erte Kacrut larut dalam kesenangan anak-anak yang asyik dapat bacaan baru, dan bisa membaca dengan perut yang kenyang.
            ”Siapa yang berani cerita apa yang sudah dibaca, boleh pilih bukunya buat dibawa pulang...” samar-samar Dul Kenyut mendengar ucapan ertenya. Ia merasakan suasana yang beda. Ertenya memang luar biasa. Dan ia harus terus belajar dari kegilaannya...

* Selamat hari buku dan hak cipta sedunia...

Jumat, 20 April 2012

Kartini Update!

             Erte Kacrut cengengesan!
            “Kenapa Te?” tanya Dul Kenyut heran.
            “Nggak papa…” sahutnya sambil tetap cengengesan. “Kalo lu mau ikutan cengengesan, ikut aja. Gratis kok!”
            Sialan! Umpat Dul Kenyut yang akhir ‘nyengenges’ ngikutin ertenya. Walaupun sama sekali nggak paham. Tapi ya demi stabilitas dan solidaritas, sebuah logika orang yang agak pinter tapi sebenarnya bodoh dan pragmatis, maka Dul Kenyut melakukannya.
            Erte Kacrut makin lebar cengengesannya. Dul Kenyut makin heran dibuatnya.
            “Lu ngapain cengengesan,” tanya Erte Kacrut.
            “Lha, kan ngikutin situ…” Dul Kenyut si sarjana ber-IPK 3 koma itu menyahut.
            Kali ini malah Erte Kacrut ngakak-ngakak. Makin bikin nggak enak hati Dul Kenyut. Sumpah ia merasa sedang dikerjai dan dihina-dinakan.
            “Dul, Dul… lu pinter tapi bego!” Erte Kacrut ngakaknya lebih nyaring.
            Tuh, bener kan… batin Dul Kenyut. Ia merasa ertenya memang sedang menjebak. Dan ia dengan sadar terperangkap. Pasti habis ini ertenya akan bilang, Itulah sebabnya gue nggak yakin dengan paralelisasi kecerdasan akademik dengan kecerdasan situasional. Ah, dasar erte gila! Batinan Dul Kenyut makin kesal. Ada saja cara untuk membuatnya bertekuk lutut, dan menempatkan dirinya tidak lebih pintar dari ertenya. “Erte eduuuun…”
            Ya, ketika Dul Kenyut sedang mencerna dan mencermati pembodohan dirinya, eh ertenya sudah raib dari sebelahnya. Hah! Dul Kenyut melihat ertenya sudah bercengkerama sama Mak Eroh di depan warung.
            “Saya nggak sakit mata kan Mak?” tanya Erte Kacrut ke Mak Eroh.
            “Kagak merah kok, Te…” sahut Mak Eroh agak mendekat.
            “Oh, saya juga takutnya lagi sakit nih…” kata Erte Kacrut lagi.
            “Nggak ah, orang seger buger gitu…” Mak Eroh melihat-lihat wajah ertenya.
            “Berarti saya sehat ya… ya sudah, takutnya saya salah lihat,” kata Erte Kacrut lagi.
            “Salah lihat apaan?”
            Erte Kacrut tidak bicara. Matanya yang bicara. Ia memperhatikan Mak Eroh yang hari ini modis banget. Pakai kaos casual, terus pakai jeans, dan agak wangi. Rambutnya disanggul nyaris seperti sanggulnya Syahrini. Tapi baru nyaris saja, karena sejatinya lebih pas dengan nama "Setrum Tiada Tara". Karena rambut Mak Eroh lebih tampak nge-punk dan acak-acakan.
            “Kenapa Te, liat-liat saya… cinta ya?” tegur Mak Eroh.
            Erte Kacrut tertawa. “Antara cinta dan geli, Mak…”
            “Keren kan? Situ aja sampe segitunya ngliatin saya. Kalah deh orang-orang cakep di infotainment!”
            Erte Kacrut tertawa lagi, matanya masih nggak percaya kalau yang di hadapannya adalah Mak Eroh yang sehari-hari hanya berbebat daster dan dibalut kain. Kini ia tampil modis!
            “Dalam rangka apa Mak? Sampai bisa cantiknya nggak ketulungan…” tanya Erte Kacrut sambil senyum-senyum.
            “Kalau muji yang tulus ngapa, Te, segala dikata cantiknya nggak ketulungan. Emangnya kita gedebong pisang hanyut apa…” sahut Mak Eroh sambil menarik bibirnya. Kesal. “Ya dalam rangka memperingatkan hari Kartini lah…”
            Erte Kacrut tepok jidat, “Memperingati kali Mak…”
            “Emang beda ya... memperingati sama memperingatkan?”
            “Ya beda! Tapi kenapa nggak pilih pake sanggul ama kebaya, Mak?”
            “Biar beda aja…”
            Duh! Ini emak-emak gayanya selangit. Jatuh terus stroke, tahu rasa dia.
            “Kalau gini kan kayak personil Cherrybelle!” Mak Eroh tertawa, sampai giginya yang tanggal satu kelihatan.
            Kartini mungkin juga tersenyum lihat polah Mak Eroh. Tapi ya, memang memperingati itu kan nggak harus selalu artificial. Hanya kulit, hanya yang tampak luar. Justru yang penting adalah memperingati dengan memperingatkan diri dan orang lain, bahwa cita-cita luhur Kartini itu seharusnya bikin perempuan kudu pinter. Perempuan harus visioner. Tapi tetap tidak mengingkari kodrat. Boleh sibuk, bahkan harus sibuk, karena sibuk itu membuat orang berpikir dan berkeringat. Bukankah kita harus menjadi umat yang terus bergerak…
            “Fotoin dong Te, nih pake hapenya Ningsih!” Mak Eroh menyodorkan hape cina yang mirip blackberry. Dengan gaya pol-polan dan agak ugal-ugalan, Mak Eroh lupa umur. Dan jeprat-jepret Erte Kacrut ngaconya juga nggak karu-karuan. Hingga sampai ke pose andalan yang sangat fenomenal. Mak Eroh menaruh kedua tangannya di dagu dan kepalanya ditengglengkan! Rasanya sudah persis banget personil Cherrybelle!
            Tentu dengan tanpa mengurangi rasa hormat, Erte Kacrut menahan cengengesannya. Seperti juga Dul Kenyut yang diam-diam melihat aksi itu. Sambil menahan ketawa juga. Demikian juga Ningsih sang pemilik hape!
            “Keren Mak! Nanti diupload difesbuk ya…” celetuk Dul Kenyut.
            Mak Eroh tersenyum. Erte Kacrut kelepasan. Ia bisa menahan tawa tapi tak bisa kentutnya... Dul Kenyut cuma bisa mesem-mesem sambil tutup hidung, karena dialah yang paling banyak dapat bagian. Dasar erte eduuun! 

Jelek Muka Cermin Dijual



            “Eduuuuun… edun pisan!” Erte Kacrut datang ke warung Mak Eroh sambil terengah-engah plus mengumpat-umpat.
            Sebagai orang yang punya respek baik, reaksi cepat Mak Eroh langsung bertindak. Belum sampai Erte Kacrut duduk, Mak Eroh sudah menyediakan air putih segelas gede lengkap dengan es batunya. Logika sederhana, api harus dilawan dengan air. Nah, kalau airnya pakai es, pasti apinya akan lebih cepat mati. Logika yang nggak ilmiah, karena itu logikanya orang kampung, bodoh dan nggak sekolah.
            Tanpa ditawari, Erte Kacrut langsung duduk dan minum air putih yang dicampur remukan es batu. Mak Eroh melihat beberapa saat proses pemadaman api di kepala Erte Kacrut dan terus bergerak menuang kopi spesialnya. Menu utama Erte Kacrut di warungnya. Kopi hitam kental dengan 33 kali adukan.
            “Eduuuun, eduuuun…” Erte Kacrut masih mengumpat-umpat saja.
            “Lagi air esnya Te?” tanya Mak Eroh, nggak menggubris umpatan Erte Kacrut.
            “Nggak, makasih…” Erte Kacrut menghabiskan sisa air es di gelasnya. Setelah tarik napas, dia bilang, “Bikinin es susu, dong…”
            Mak Eroh tepok jidat, padahal kopi spesialnya tinggal saji.
            “Pake es nggak, Te?” tanya Mak Eroh.
            “Ya pake lah, kalo nggak pake es ya bukan es susu…” sahut Erte Kacrut sambil senyum agak licik.
            “Iya yah…” Mak Eroh ketawa terbirit-birit setelah agak lama diam mencerna dengan saksama ucapan Erte yang otaknya somplak itu. Mak Eroh semakin terkekeh. Sampai akhirnya ia lupa bikin es susu pesanan ertenya, dan tetap saja menyodorkan kopinya.
            “Kok kopi?”
            Mak Eroh tepok jidat lagi.
            “Katanya saya bukan laki-laki tipenya situ, tapi kalo lihat saya, situ grogi melulu…” ujar Erte Kacrut ngaco! “Ada apakah gerangan?”
            “Saya yang mau nanya, ada apakah gerangan, dateng-dateng mulutnya blepetan kayak piring belum dicuci…” sahut Mak Eroh nggak kalah ngaco.
            “Edun nggak sih Mak! Saya pagi-pagi dibangunin katanya ada yang mati. Saya langsung ke makam, nyuruh orang gali kubur, eh… begitu pulang dari kuburan saya ke rumahnya eh, orangnya seger buger, sehat wal afiat dan bunder berseri wajahnya!” Erte Kacrut kelihatan banget keselnya.
            “Lha situ juga main langsung pesen gali kubur aja!”
            “Biasanya kan begitu, Mak! Tugas saya, ada orang mati ya nyiapin kuburannya. Lagian warga sekampung berapa orangnya sih. Pasti saya kenali semua lah wajahnya, letak tahi lalatnya sampai bau keringetnya.”
            “Emang siapa yang mati? Kok gak kedengeran ada pengumuman dari mesjid?”
            “Kan ampli mesjid ilang, Mak!”
            “Pantes nggak ada azan!”
            “Azan mah tetep ada, Mak aja yang nggak denger!”
            “Hayah, selalu begitu deh…” Mak Eroh pura-pura kesal.
            Erte Kacrut ngakak. Begitu mingkem, tangannya nyamber cangkir. Srapat sruput walaupun asapnya masih ngebul.
            Lalu, berceritalah Erte Kacrut dengan lancarnya setelah otaknya tersetrum adonan kopi spesial Mak Eroh. Konon, ada yang sms kalau ibunya juragan orderdil bajaj meninggal dunia. Padahal sorenya, belum lama Erte Kacrut ketemu dan seger buger. Biasa lah erte ini kerjaannya kan nyatroni cewek-cewek cantik di zamannya. Sekarang sih udah pada kendor dan kalau kena angin berisik kayak balon ditaroh di jeruji sepeda bmx.
            “Terus tuh kuburan gimana nasibnya?” tanya Mak Eroh.
            “Itu dia, saya disuruh nguruk lagi sendiri…” Erte Kacrut kayaknya kesel banget, “Katanya saya sudah melakukan tindakan tidak menyenangkan…”
            “Ya iyalah, nggali kubur emang enak, capek tau, Te!”
            "Terus saya dituduh melakukan kebohongan publik…”
            “Ya iyalah, orang seger buger situ bilang mati!”
            “Saya dibilang telah melakukan penipuan…”
            “Buset, keren amat tuh tukang gali kubur! Tapi bener juga sih, situ bisa dijerat pasal penipuan karena nggak ada orang mati, dibilang ada yang mati…”
            “Eh dah! Akhirnya saya kudu beresin lagi tuh kuburan yang udah digali. Saya urug lagi sampe seperti sedia kala… Kebayang kan Mak, belum sarapan… Panas! Hadeuuuh… eduun pisan tuh anak!”
            “Anak siapa, Te?”
            “Ya siapa lagi kalo bukan Fijay, juragan onderdil bajaj yang stress!”
            “Kok, apa hubungannye?”
            “Ya dia yang ngomong ibunya meninggal!”
            Mak Eroh terbelalak, mulutnya istighfar bolak-balik. Tega amat ya… Kualat itu! Mak Eroh jadi inget, anak bisa jadi fitnah! Anak bisa jadi cobaan yang berat! Jadi orang tua memang nggak gampang. Mungkin itu yang dimaksud di pengajian sama Ustadz Jabbar, punya anak kudu diajari shaleh, karena pinter doang nggak cukup! Ah, Fijay, Fijay...
            “Tuh anak ya, emang kelihatan sih stres dari dulu!” kata Mak Eroh nggak habis pikir. “Kebelit utang kayaknya, jadi singit deh! Jangan-jangan udah mulai gila, Te!”
            Erte Kacrut diam. “Makan dong Mak, laper banget nih!”
            “Ya, ya…” dengan sigap Mak Eroh menyiapkan makan dengan sayur dan lauk yang ditunjuk-tunjuk sama Erte Kacrut. “Bismilah ya Te… biar kalo jadi daging, jadi darah, atau jadi calon bayi nanti biar anaknya sholeh!”
            Erte Kacrut tertegun sesaat, memandang Mak Eroh yang tiba-tiba serupa Tamara Blesinsky… ya mirip Tamara dua puluh tahun yang akan datang! Ah, ya peot-peot juga judulnya…

Rabu, 18 April 2012

Cinta Sebelah Tangan


            ”Mak, cakep amat hari ini… kayak Maya Rumantir!”
            Erte Kacrut duduk sambil ngakak. Mak Eroh tersipu, pasti pipinya yang mulai kendor memerah deh! Tuh Erte bisa banget bikin perempuan jagoan masak sekampung Kacrut ini klepek-klepek.
            ”Halah, basi deh...” sahut Mak Eroh masih agak tersipu. Tangannya cekatan seperti otomatis membuat kopi spesial untuk lelaki yang kali ini datang cuma bersarung dan kaos kutang. Hadeuhh... nggak modis banget deh! Batin Mak Eroh gemes sambil mengaduk kopi.
            ”Kemana sekarang Maya Rumantir ya, Mak, dulu saya suka banget tuh! Kalo ada kalender gambar dia pasti saya pasang di pintu...” Erte Kacrut menceracau seperti orang mabuk. Orang-orang di warung cengar-cengir dengan polahnya. Mak Eroh buru-buru saja menyodorkan kopi biar ertenya nggak makin ngaco!
            ”Kasih tak sampe itu namanya Te...” celetuk seseorang.
            ”Bertepuk sebelah tangan...” lagi seseorang nyeletuk. Ngasal!
            ”Ya, begitulah... saya ini spesialis kasih tak sampai dan cintanya bertepuk sebelah tangan,” sahut Erte Kacrut sambil nyeruput kopi yang masih ngebul. ”Kalo sampeyan pernah ngrasain enak dan dahsyatnya patah hati dan kasih tak sampe itu, sampeyan semua bakal ketagihan dan ingin terus jatuh cinta dengan harapan tidak pernah ditanggepin sama yang kita mau gebet!”
            Mak Eroh senyum-senyum mendengar celotehan Erte Kacrut yang ngaconya minta ampun. Derai tawa pengunjung warung bersahut. Erte Kacrut ketahuan tuh kalau lagi stres. Ngaco!
            ”Situ salah minum obat apa sih Te?” celetuk Mak Eroh sambil nggoreng mendoan, ”Kok jadi kayak orang singit gitu!”
            ”Lagi jatuh cinta, Mak...” sahutnya asal njeplak.
            ”Halah, bilang aja listrik belum kebayar...” Mak Eroh ngakak.
            Erte Kacrut senyum, ”Ada yang bikin saya jatuh cinta nih! Maya Rumantir...”
            Mak Eroh menarik bibirnya. Susah ngladenin orang lagi singit! Kemaren marah, sekarang singit! Dasar ABG Tua Labil...
            ”Saya mau belajar etiket Mak, katanya Maya Rumantir buka sekolah pengembangan kepribadian. Kalau di John Robert Power kan impor, takutnya banyak bahasa inggrisnya, nanti saya malah makin tidak beretiket!” Erte Kacrut ngelantur. Mak Eroh menyodorkan mendoan hangat di piring ke hadapannya. ”Saya ini lagi merasa kurang peka, kurang sensitif, dan kurang bisa membaca situasi dan lingkungan saya berada... Otak lagi rada tumpul! Perlu diasah. Kalau yang ngasah cantik kan paling nggak kalo ilmunya nggak masuk saya dapat bonus pemandangan wajah cantik...”
            ”Panjang amat ngomongnya, kaya pidato pelantikan bupati gagal...” sela Mak Eroh sambil matiin kompor.
            ”Mak, numpang nanya ya…”
            ”Numpang tuh kencing, tanya mah tanya aja…”
            ”Saya tipe lelaki idaman situ nggak ?” Erte Kacrut berdiri. Mak Eroh ketawa. Tuh perut buncit gitu, lengan bergelambir, wajah bulet kayak teflon. Wah nggak banget deh...
            ”Beneran salah minum obat ini sih...” ujar Mak Eroh senyum-senyum. ”Udah Te, ngomong aja, mumpung nggak ada orang.” Dua orang yang makan sudah selesai dan sudah naik motor lagi. Piringnya ludes, yang ketinggalan cuma asap knalpotnya saja.
            Erte Kacrut berubah rona wajah. Serius. Dan diam sesaat.
            ”Mak, Ningsih pernah bohong nggak?” tiba-tiba bertanya dengan roman muka serius. Mak Eroh mengangguk. ”Pernah ngeles nggak, kalo ketahuan kerjaannya nggak beres?” Mak Eroh kembali mengangguk. ”Pernah ngaku salah nggak?” Mak Eroh menggeleng. Bisa banget Erte Kacrut membuat Mak Eroh golang-galeng lehernya. Sepuluh pertanyaan berikutnya membuat Mak Eroh geleng-geleng lagi. Nggak sesulit soal UN sih, karena hanya pertanyaan seputar Ningsih, asistennya Mak Eroh.
            Apakah Ningsih kalo salah nyalahin orang lagi? Apa dia mencoba membuat alibi setiap kali kepergok nggak beres kerjaannya? Apa dia pernah bikin Mak Eroh sewot? Dan seterusnya.
            ”Emang kenapa Te...”
            ”Saya ketemu orang yang sejenis itu...”
            ”Oh, saya malah setiap hari bersama orang yang sejenis itu!” Mak Eroh nyolot!
Tiba-tiba Ningsih datang sambil ketawa-tawa dengan tangan terus memenceti kipet hape. Mak Eroh menarik napas panjang. Sementara Erte Kacrut memilih menyumpel mulutnya dengan mendoan...
           

           

Kamis, 12 April 2012

Senja bersama Mak Eroh


            “Gue sebenernya males ngomong, Mak!” kata Erte Kecrut sambil mijitin dahinya.
            ”Crita aja, Te, siapa tahu bisa ngurangin sakit kepala,” sahut Mak Eroh sambil nyodorin segelas jahe susu sachetan. ”Nih, nggak usah ngopi dulu, minum jahe, biar anginnya keluar...”
            ”Makasih ya Mak...” Erte Kacrut mengaihkan pandangan sejenak ke gelas yang ngebul dengan aroma jahe menyengat.
            ”Setiap orang kan ada masalah Te, nggak banyak orang yang bisa ngatasin masalahnya sendiri, dia tetep butuh orang laen...” Mak Eroh balik lagi menyodorkan mendoan hanget. Kinyis-kinyis, tampak irisan daun bawangnya membalut tempe setengah mateng ala Purwokertoan itu. ”Crita aja, kayak ama orang laen aja...”
            Mak Eroh nggak balik lagi ke singgasananya, tapi malah duduk di samping Erte Kacrut. Tangannya masih sempet ngambilin cabe rawit untuk temen mendoan.
            ”Ya gimana ya... lu tahu gue kan...”
            ”Iya, tahu, nggak bisa diem, ada aja yang dikerjain...”
            ”Bukan itu, soal...”
            ”Iya, apa-apa maunya dikerjain sendiri... nggak mikir umur makin tua!” potong Mak Eroh.
            ”Eit dah, bukan itu...”
            ”Iya, apalagi kalo lihat orang yang kerjaannya lelet! Sampeyan nggak sabaran kan! Apalagi kalo ketemu orang yang kerjaannya lelet terus otaknya lemot kayak Ningsih itu... Hah! Saya aja pusing!” Mak Eroh nyerocos terus, ”Anak sekarang bisanya sms, sms, berak aja sms! Bikin pusing aja...!”
            Erte Kacrut narik napas, terus nyeruput dikit-dikit jahe susu buatan Mak Eroh. Hmmm, aduhai juga rasanya!
            ”Berapa kali tempe angus karena Ningsih keasyikkan sms, dia mana tahu, kalo secara bisnis itu kan kerugian! Nggak paham dia, biar dikasih tahu bukannya berubah malah makin berulah, malah cengangas cengenges! Tobat! Tobat!”
            ”Lha ini kok jadi elu yang curhat...” sela Erte Kacrut.
            Mak Eroh tersipu! Wajahnya memerah, agak malu-malu begitu. Sebenernya Mak Eroh manis juga, kalau saja nasibnya baik. Maksudnya dia tidak terperangkap kemiskinan dan hanya berjuang untuk bertahan hidup agar tak miskin. Coba kalau dia seperti perempuan lain, mandi pakai sabun sejak kecil, pakai bedak, sekali waktu sempatlah ke salon. Ah, pasti aura cantiknya keluar...
            ”Lha, sekarang malah situ yang bengong!” sentak Mak Eroh bikin Erte Kacrut kaget. Kedua tersenyum... Ah! Dua orang dewasa!
            ”Gue lagi nggak ngerti aja, Mak! Kok bisa gue ketemu orang yang ndablegnya minta ampun! Mungkin sebangsa Ningsih kali ya... nggak peka, nggak ngerti-ngerti! Terus bikin judeg!”
            ”Biasanya situ sabar banget, Te...”
            ”Sabar dari Hong Kong!”
            ”Bener Te, seumur hidup saya baru ketemu laki yang sabar banget ya situ!”
            ”Ya elu kenalnya gue doang!”
            ”Ealah… sembarangan aja, banyak kali laki-laki yang tiap hari ngantri di sini…” Mak Eroh menampakan wajah genitnya.
            Erte Kacrut ketawa, begitu reda ia kembali nyeruput jahe susu.
            ”Kalo gue kan emang dasarnya dulu kere, Mak! Jadi apa-apa kudu bisa. Bisa ini, bisa itu! Bisa bawa diri di mana berada, bisa tahu diri dengan siapa kita bersama!”
            ”Itu dia yang anak-anak sekarang nggak punya Te! Saya juga kadang gedeg bener sama Ningsih! Tapi gimana lagi, mau nggak mau ya kudu mau. Nanti yang bantu saya siapa?”
            ”Sebenernya ya kita nggak bisa nyalahin, tapi kan anak-anak itu ada orang tuanya. Terus orangtuanya ngapain? Lha, kalo alesannya sibuk kerja terus anak-anaknya dibiarin tumbuh sendiri ya fatal akibatnya. Nggak ngerti tuh etika, ngomong ama yang tua nyangklak, ama kerjaan alergi, maunya enaknya aja... bubaran dong kalo begini dunia!”
            ”Situ lagi kesel banget ya Te?” tanya Mak Eroh sambil ngliatin muka Erte Kacrut.
            Erte Kacrut tersenyum. Mengangguk kecil. Lalu mengambil mendoan yang masih anget, ditekuk jadi dua dan blesss... masuk ke mulutnya langsung disusul gigitan cabe rawit. Mak Eroh tahu, kalau lelaki yang dikaguminya itu lagi suntuk. Kalau nggak berat banget dia nggak mungkin sampai gampang kepancing omongan begitu. Dia orangnya rapi. Kalau nyimpen rahasia apalagi.
            ”Gue merasa capek banget Mak! Gue ketemu banyak orang, gue bergaul dan gaul  bareng-bareng dengan banyak orang nggak kali ini aja. Tapi yang ini bikin gue capek! Bikin kepala gue sakit...!”
            BRAKKK!
            Mak Eroh kaget bukan kepalang, lahir batin sumpah dia kaget! Nggak nyangka, Erte Kacrut lepas kendali sampai ninju pintu warung! Buru-buru perempuan itu ngambil air putih dan menyodorkannya.
            ”Istighfar, Te... istighfar...!”
            ”Insya Allah gue udah banyak istighfar dari kemaren-kemaren Mak! Kalo nggak mungkin kejadiannya lebih dari ini...”
            Mak Eroh bengong! Sabar juga ada batesnye. Sekuat apa pun dia nahan, bisa bobol juga!             

Jumat, 03 Februari 2012

Rasanya Cinta


            Erte Kacrut cuma diam. Itulah yang bikin dia keren. Tetap tenang...
            Padahal... ehm!
            ”Udah deh, situ bukan level saya! Mana mungkin saya nikah sama situ...” suara artis organ tunggal itu tanpa pake mik kencengnya bukan main. Bikin leher mesti nengok dan kuping jadi geregetan pengen denger.
            ”Siapa juga yang mau nikah sama situ...” tiba-tiba Dul Kenyut ngeloyor aja tuh mulutnya.
            Kontan saja, Endang Astuti si Kembang Kampung melotot sampai bola matanya nyaris melendung segede balon ulang tahun.
            ”Elu anak kecil nggak usah ikutan! Tau apa lu...” sambar artis kampung yang isi otaknya hapalan lagu semua. Dari lagu-lagu zaman neneknya, sampai lagu-lagu zaman anak semata wayangnya yang bapaknya nggak jelas di mana.
            Dul Kenyut mengkeret kayak krupuk kesiram kuah.
            ”Ngomong dong Te...!” kini Dul Kenyut ngomporin ertenya. Mungkin nggak tega dan merasa terhina orang yang dihormatinya disia-sia sama artis electone itu.
            ”Biarin aja...” kata Erte Kacrut pelan.
            ”Ah, jadi orang sih nggak ada tegasnya! Lawan dooong...!” Dul Kenyut kelihatan gemes bener.
            ”Biarin aja dia bicara sampai kelar. Kita lagi belajar nih...” kata Erte Kacrut.
            ”Diomelin sih belajar, dinista-nistain kok belajar...” Dul Kenyut makin keki.
            ”Saya mau nikah juga sama yang lebih dari situ Te... punya mobil, ngganteng, dan perlente! Nggak kayak situ, cuman erte... banda seadanye, catetan utang di Mak Eroh juga paling panjang daftarnya. Ngarep apa saya dari laki-laki kayak situ...” artis kampung itu ngoceh lagi. Kata-katanya tajam bener, ngalahin pisaunya Mak Eroh yang lagi pakai buat ngirisin daun caisim buat mi duo yang iklannya Ayu Ting Tong.
            ”Te, lawan Te...” tiba-tiba Dul Kenyut histeris. Matanya galak menatap Endang si artis electone. Ia berdiri nyaris tak terkontrol. Tangannya menggenggam kencang. Tanda kalau dia sangat emosional. Orang-orang di warung langsung sigap merangsek mengamankan Dul Kenyut. Takut terjadi keributan yang nggak diingini. Ada yang megang tangannya, ada yang memeluk erat dari belakang, dan ada yang megangin kakinya takut nendang kompor Mak Eroh yang lagi nyala.
            ”Biarin aja... biarin dia ngomong! Kita liat aja!” sahut Erte Kacrut tenang. Malah masih sempat nyruput kopinya.
            ”Endang itu lagi memperlihatkan kualitas dirinya... dia sedang memperkenalkan dirinya lebih dalam. Mungkin selama ini orang-orang belum tahu, selain cantik dan pinter nyanyi, ternyata Endang ini juga pinter bikin orang sakit hati… Itu kan kepinterannya juga…”
            ”Tapi Endang emang keterlaluan Te…” kata salah seorang yang megangin Dul Kenyut.
            ”Bukan keterlaluan, tapi nggak pas aja tempatnya, mestinya kan cukup diomongin berdua. Antara gue sama dia. Tapi kan dia artis, jadi biasa ditonton. Jadi buat nolak gue, kasarnya begitu, dia juga butuh panggung dan penonton,” ujar Erte Kacrut kalem.
            Endang memonyong-monyongkan mulutnya.
            ”Tapi itu kan menghina pejabat, Te...” Dul Kenyut menyela dengan napas keras.
            ”Siapa yang pejabat, Dul... ini urusan cinta. Bisa jadi cinta beneran atau rasa-rasanya kok cinta. Ini yang susah mbedainnya...”
            Dul Kenyut duduk lagi. Mak Eroh sempet melirik ketika denger erte pujaannya bilang, cinta beneran atau rasa-rasanya cinta! Ah, erte itu memang aduhai isi otaknya, batin Mak Eroh memuji.
            ”Bedanya apa Te?” Dul Kenyut nggak sabar.
            ”Kalau cinta beneran ya gampang, nyaris tanpa syarat apa-apa. Ikhlas-ikhlasan... adanya gue begini ya diterima, adanya dia begitu ya gue terima. Bahasa rada pinternya I love you just the way you are...” terang Erte Kacrut sambil senyum. Eh pas kebetulan matanya Mak Eroh ngelirik. Hadeuuuuh... Endang Astuti duduk diam sambil ngelus-ngelus kuku tangannya yang dikutekin warna hitam kayak Limbad.
            ”Ka...” Mak Eroh sama Dul Kenyut barengan pengen nanya sama ertenya.
            ”Kalau rasa-rasanya cinta ini yang agak rumit. Itung-itungannya banyak... rumit dan ruwet. Biasanya, egonya tinggi, kayak orang main bola, menang-menangan! Gue maunya begini, nggak bisa gue bisanya begini, trus ribut dah... berseri kayak sinetron. Bisa ratusan episode. Ujungnya ya... wasalamu’alaikum.”
            Erte Kacrut ketawa geli. Mimiknya lucu banget. Begitu kelar ketawa, disruput kopinya sampai isi gelasnya tandas. Buru-buru dia berdiri, sarungnya dikencengin, terus lari ke lapangan main futsal sama bocah-bocah ingusan. Dul Kenyut, Mak Eroh dan orang yang di warung geleng-geleng. Sementara Endang Astuti keselek kuah mi duo yang sengaja dikasih potongan cabe sama Mak Eroh...

Jumat, 13 Januari 2012

Benci Sekali, Cinta Berkali-kali


            Gombal banget Erte Kacrut sebenernya...
            Bagaimana tidak, kalau saja Mak Eroh masih muda pasti disikat juga. Coba di mana logikanya, Mak Eroh yang sedikit saja umurnya di bawah ibunya erte sialan itu bisa tergila-gila sama dia. Selalu saja ada yang istimewa buat Erte Kacrut setiap kali datang ke warungnya.
            ”Ujan gini ada yang anget, Mak...” kata Erte Kacrut sambil bersedekap.
            ”Ada dong,” Mak Eroh menyahut dengan suara mendesah ala Syahrini sambil ngulek sambel terasi. ”Mauuu...”
            ”Ya mau lah...” sambutnya sambil senyum.
            ”Nurrrr...” Mak Eroh memanggil keponakannya. Lalu berbisik ketika sudah didekatnya. Nur tampak mengangguk setelah menyimak serius. Tak menunggu lama, gadis gempal dengan pipi mirip empal dan rambut panjang yang ujungnya bercabang itu kembali membawa sesuatu...
            ”Kasih Pak Erte...” kata Mak Eroh.
            Gadis belasan tahun tanpa ijazah SMA itu pun bergerak maju, menghampiri laki-laki yang duduk sambil angkat kaki. Tanpa kata-kata, Nur yang pemalu dan minderan menyerahkannya.
            ”Bujug dah, lu mah udah gila kali ya...”
            Erte Kacrut melempar selimut yang bau apeknya minta ampun. Beruntunglah Dul Kenyut. Ia mendapatkan bau yang lebih banyak karena lemparan Erte Kacrut tepat kena muka pemuda bukan idaman itu. Kontan saja, seisi warung dan alam penggorengan tertawa dibuatnya. Jadilah peristiwa itu trending topic di warung Mak Eroh sampai seharian.
            ”Gila lu Mak, masak sama pacar dikasih selimut basi...”
            ”Selimut basi?” sela Dul Kenyut yang masih kliyengan dan mual-mual.
            ”Iya basi lah, baunya aja bikin lu kliyengan gitu...”
            Mak Eroh senyum-senyum sambil menyodorkan susu jahe yang dia bakar sendiri. ”Khususon ni Te... demi cintaku padamu...”
            Jiaahhh...
            ”Lu jangan mancing-mancing, Mak! Ntar jadi gosip nih!” alis mata Erte Kacrut bergerak-gerak naik sambil mengarah ke Dul Kenyut yang persis di sampingnya. ” Ya nggak Dul?”
            ”Apaan sih,” kilah Dul Kenyut. ”Mau dong Mak, susu jahe kayak itu...”
            Mak Eroh memanggil Nur, menyuruh bikin susu jahe buat Dul Kenyut. Dengan cekatan Nur menyiapkan gelas, menyabet susu jahe kemasan yang menjulur bergantungan. Dan segera menyobek bungkusnya, memindahkan isinya ke gelas sebelum dituang air termos.
            ”Kok? Beda sama itu...” Dul Kenyut protes. Matanya melihat jahe bakar segede jempol kaki Mak Eroh berenang di gelas Erte Kacrut.
            ”Beda kelas, Mas Broww...” celetuk Erte Kacrut, ”Terima takdir aja...”
            ”Nggak adil nih!” protesnya lagi.
            ”Darimana lu bisa berkesimpulan nggak adil, sahabatku?” tanya erte sambil menyeruput jahe susunya yang masih ngebul asapnya. ”Keadilan itu bukan sama rata sama rasa. Tapi paralel antara kerja, risiko, dan capaiannya, hingga dapatlah anugerah seperti ini...”
            Dul Kenyut terbengong-bengong nggak bisa ngomong.
            ”Benci aku!” kata Dul Kenyut ketus.
            ”Bagus, lu harus membenci ini...”
            ”Diperlakukan nggak adil begini dibilang bagus!”
            ”Silakan tanya ke Mak Eroh, alasannya apa dia membuat perlakuan berbeda ini? Sok, silakan tanya, mumpung orangnya ada. Jangan gerundelan dan beraninya ngomong kalau nggak ada orangnya...”
            Dul Kenyut diam.
            ”Lu jangan ngerasa diperlakukan nggak adil, Dul,” sahut Mak Eroh sambil mindahin sambel dari cobek ke piring kecil. ”Erte lu kan kerjaannya banyak, nggak cuma ngurusin elu, gue, Nur... tapi ngurusin banyak masalah. Ngelindungin warganya, mikirin warganya, mbantuin kesulitan warganya, ndengerin curhatan warganya... banyak! Jadi pantes aja kalau gue juga bersimpati, berterimakasih dengan menjamunya ala kadarnya...”
            Dul Kenyut terdiam...
            ”Dia itu udah ngorbanin banyak waktunya, pikirannya...” sambung Mak Eroh lagi. ”Lu nggak pernah tahu kan bagaimana dia mesti mengatur pikirannya agak nggak kusut, ngejaga perasaannya biar nggak emosian dan temperamen... nggak bijaksana kan kalo beliau waktunya habis buat ngurusin itu semua. Beliau punya hak mengurusi dirinya sendiri juga...”
            Erte Kacrut berdehem. Beberapa mata balapan menuju wajah pemilik suara yang dehemnya sangat fals itu. Mak Eroh tersipu...
            ”Maaf ya Te, agak lancang...” ujar Mak Eroh makin tersipu, pipinya memerah hitam dan sawo matang, ”Semua semata-mata cinta gue sama lu, Te…”
            Dul Kenyut benci banget, dia pikir dia orang yang paling mencitai Erte Kacrut.