Jumat, 11 November 2011

Ocehan Erte Kacrut # 1

Sudah hampir setahun Bupati Ketoprak terpilih dan tinggal di wilayah Kampung Kacrut. Dan hampir setahun pula, Bupati Ketoprak itu tak pernah kelihatan wajah dan senyumnya di lingkungan yang cuma seuprit, bahkan saking kecilnya, kalau ada orang kentut semua penghuni kebagian baunya. Ya, maklumlah sibuk, namanya juga bupati, urusannya banyak, diatur oleh protokoler yang cermat, demi keselamatannya dunia dan akhirat. Tapi tidak yakin juga kalau warganya maklum, bisa jadi karena mereka cuek dan nggak menganggap penting keberadaan bupati di kampungnya.
“Ini kan kampung intelek, jadi ya berperilakulah intelek,” kata Erte Mbambung sambil cengengesan ngemil krupuk masuk angin ketika ditanya sama Dul Kenyut, warga yang kerjaannya nonton tivi bagian politik-politikan.
“Lah, bukannya setiap penghuni baru harus lapor, Te…”
“Halah, itu kan katamu…”
“Lho bukannya Pak Erte yang nyuruh nulis!”
“Yah, biar erte ada instruksinya dikit, buat pantes-pantes…”
Erte kacrut di Kampung Kacrut. Pas! Edan, batin Dul Kenyut. Punya erte setengah tiang memang kadang ngeselin luar dalam. Semua warganya suruh mikir sendiri omongannya. Suruh menafsiri sendiri apa yang dikatakannya. Nanti kalau dikonfirmasi balik, jawabnya enteng bener, “Lu sekolah kan? Tinggi kan? Ya udah… pikir sendiri!” Halah, ampuuun…
Dul Kenyut suruh mikir, kira-kira menurutnya, kalau ada orang datang, apapun dia, siapa pun beliau, mau bupati, presiden sekalipun kalau datang ya harus ‘kulonuwun’ lah sama yang punya kampung. Itu kan masalah etika. Jangan dihubungkan dengan jabatan, dengan kedudukan, apalagi dengan yang hubungan dan ukurannya material lainnya. Nggak peduli…
Jangan juga disangkut pautkan dengan perasaan. Jangan karena tidak ikut nyoblos waktu pilihan waktu itu, atau karena hanya bikin ribet dengan banyak pertanyaan, dianggap ngrepotin, terlalu berisik, atau bahasa politisnya tampak beroposisi. Wong, ini hubungan kekerabatan antarmanusia, antarawarga, antarsesama kok… Jabatan kan ada umurnya, paling empat atau lima tahun selesai. Paling kalau kepilih lagi ya paling mentok 32 tahun selesai dengan didemo. Nah, kalau pertemanan, persaudaraan atau bermasyarakat kan umurnya panjang. Abadi, sepanjang masa, sampai nyawa lolos dari raga yang bersangkutan.
“Nggak perlu takut…”
Inilah pesan yang dalam dari erte kacrut itu kepada para pejabat! Wong jabatan umurnya bisa diterawang. Korup dikit atau sekalian banyak, pecat. Nggak bisa mimpin, demo. Intinya pemimpin itu kudu ojo rumongso biso, ning bisoo rumongso. Jangan merasa bisa, tapi bisalah menenggang rasa. Jadi jangan mentang-mentang.
Dan kelihatannya, warga Kampung Kacrut itu canggih sekali kalau soal begini. Mereka punya nilai sendiri yang tumbuh dari rasa persaudaraan yang kuat. Silaturahim antarmereka dekat sekali. Mereka warga yang cerdas. Dan sangat egaliter…
Mana ada ketua erte ceng-cengan sama warganya. Kadang malah ancurnya minta ampun. Tapi tetap saja penghormatan warga pada ertenya dijunjung tinggi. Persoalannya memang bagaimana berendah hati dan saling menghargai. Dan kata erte yang kacrut alias sudrunnya minta ampun itu, tak ada alasan apa pun yang menghalangi orang untuk berendah hati. Wong agama apa pun mengajarkan kerendahhatian kok, persoalannya kan mau dipraktikkan atau sekadar diteorikan. Rendah hati itu tidak perlu diperdebatkan atau cuma ditulis di buku.Lakonono… Jalani saja!
“Di mana langit dipijak, di situ bumi dijunjung… ya Te?”
“Kuwalik….”
“Eh iya, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung…”
Inilah salah satu rahasia penting kepemimpinan erte Kampung Kacrut. Jangan merasa menjadi orang paling penting. Mentang-mentang, apa-apa minta diundang, disediakan tempat duduk paling depan, disediakan waktu untuk pidato. Halah… ternyata kemapanan membuat orang jadi birokratis dan jaim stadium empat! Lupa niat awalnya, melemah pergerakannya. Terlena dalam kamuflase ‘kebesaran’. Belum apa-apa sudah merasa besar…
Bahwa menjadi pemimpin, apalagi pakai mencalonkan, berkampanye, dan lobi-lobi. Ya, harus tahu risikonya. Itulah bedanya pimpinan jabatan struktural apa pun namanya, entah presiden, bupati atau ketua dengan pemimpin beneran. Karena pemimpin yang ini tumbuh dan berakar, tahan gempa, tahan banting, dan tahan cuaca tanpa perlu sekolah terlalu tinggi. Alam menyediakannya untuk tumbuh... Biasanya, yang sudah terjadi dan dicatat sejarah, usia kepemimpinannya lebih panjang tanpa periodesasi, karena dia tidak dipilih dengan hitungan dan cara-cara transaksional lainnya.
Tidak jelas ini bawaan orok atau dasar nggak ngerti etika, setengah mati Dul Kenyut memeras otaknya menafsiri perihal kepemimpinan dan kearifannya, ealah… Erte Mbambung malah nggulung sarung ikut nurunin sayur mayur berkarung-karung di Mak Eroh punya warung. Sebentar lagi pasti ngopi sama cekakakan tuh… kalau tidak percaya, silakan saja gabung di warung Mak Eroh. Pisang kipasnya lebar bener kayak tepokan nyamuk…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar