Jumat, 11 November 2011

Ocehan Erte Kacrut # 5


Erte Mbambung bertahak nggak abis-abis. Hak hek, hak hek kayak orang hamil muda. Bawaannya pengen muntah. Mual nggak berkesudahan. Untung saja baunya nggak mirip septic tank yang sering dilafal sepiteng oleh orang Kampung Kacrut. Maklumlah, lidah kampung. Paling mewah, palingan hanya makanan di orang hajatan.
“Masuk angin, Te?” tanya Dul Kenyut.
“Nggak tahu, nih Dul… belakangan bawaannya mual mulu,” sahut Erte Mbambung sambil menutupi pusernya dengan sarung. Entah sudah berapa liter minyak kayu putih diolesi ke perutnya yang terlihat agak kempes itu. Walaupun kalau dilihat dari samping sih tetap aja buncit, warung jati, hingga pasar minggu. ~ Bujug, lebar bener tuh perut, kelewatan Metro Mini 75 Blok M-Pasar Minggu. ~
“Wah, nggak jadi ikut makan enak dong…”
“Lu aja dah, gue belum cocok keseringan makan enak nih!”
Dul Kenyut ngakak. Makan enak dan gratis pula kok ditolak. Pantang banget tuh. Batin pemuda yang sangat memenuhi kriteria pemuda miskin tapi idealis. Karena biasanya kan kalau agak mapan, belum mapan, baru agak mapan, idealismenya mulai agak surut. Konon, sunatullahnya memang begitu.
“Jadi bener nih, nggak ikutan…"
Erte Mbambung nyelonjor di bale-bale sambil mijit-mijit kepalanya dan tetap saja hak hek, bersendawa tanpa gurau. Kasihan juga ngelihat erte meriang begitu. Erte juga manusia katanya, punya rasa punya hati, jangan samakan dengan pisau belati… hush, malah nyanyi Serius.
“Udah lu jalan aja, gue nggak ikutan…” katanya. Dul Kenyut matanya kedip-kedip kayak lampu menara BTS. “Ini cuman penyakit salah alamat, nggak bakal betah lama-lama karena gue miskin. Dikira gue bakal berobat kali… kagak, gue nungging, juga anginnya beres."
Dul Kenyut mulai sedikit paham, bisa jadi ini hanya alasan erte kacrut untuk menghindar dari makan-makan dan acara yang menjemukannya. Buka bersama di kantor pejabat. Mana mau dia! Biar makanannya enak dan dapat bingkisan segala rupa, kalau nggak terpaksa dan dipaksa, nggak bakalan dia mau. Kalaupun mau, juga nggak bakal ngaruh apa-apa. Paling yang nyangkut tinggal selilit di giginya.
Ceritanya Pak Camat melalui Pak Lurah mengajak erte erwe dan tokoh masyarakat buka bersama di rumah pejabat. Undangannya datang semalam. Sudah diumumin di mushola bareng sama pengumuman saldo kas dan pemasukan kotak amal segala. Tapi nggak ada yang berminat. Dasar erte edan, undangan buat tokoh masyarakat malah ditawarkan buat semua warga se-kampung.
Katanya, semua warga Kampung Kacrut adalah tokoh! Jadi menurut erte kacrut itu, mereka berhak ikut dalam undangan itu. Karena yang namanya tokoh pasti rendah hati, tidak narsis, dan tidak mau menonjol-nonjolkan diri. Tokoh itu nggak sebatas pangkat dan jabatan. Bukan karena simbol, atribut dan uniformnya. Tokoh adalah orang yang sudah sampai pada maqam terbaiknya sebagai manusia. Setidaknya selain kerendahatiannya, ada ukuran kemanfaatan yang luar biasa bagi sekitarnya. Orang yang manfaat dan maslahatnya jelas…
Dul Kenyut sebenernya kepengen, tapi nggak enak ngajuin diri. Eh, kebeneran nggak ada yang mau. Kalau rezeki nggak ke mana, batinnya. Erte Mbambung nyuruh dia datang. “Sekalian cari peluang kerjaan,” batinnya melonjak-lonjak kayak orang pemanasan senam kesegaran jasmani. Dan ketika Dul Kenyut pergi dengan hati riang. Erte Mbambung pun ikutan girang, buru-buru sarungnya digulung. Pergi ke kebon, ngumpulin reruntuhan daun dan ranting kering. Selanjutnya? Ya, nunggang-nungging bakar sampah ambil buang angin. Wush, wush…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar