Dasar erte
kacrut, dia berlagak cuek aja ketika tamu penting pada datang. Padahal
mereka adalah orang-orang pentingnya Bupati. Setelah salaman, Erte Mbambung malah
main tebak-tebakan sambil cekakakan dengan warganya dan warga erte lain yang
datang bergantian. Rasanya susah nyari orang yang nggak nyengenges kalau ketemu
erte kacrut itu.
Hingga akhirnya, Erwe Kancil dan
stafnya yang pecicilan nyambut orang-orang penting. Ketika Dul Kenyut
menyatakan keheranannya, enteng aja jawaban erte kacrutnya itu.
“Sekarang tugasnya ahlul hajat,
tugas kita sebagai ahlul bait udah selesai dengan menyiapkan tempat ini dan
segala fasilitas yang bisa dinikmati… monggo…” ujarnya sambil minta diseduhin
kopi sama Sumi, staf khususnya Mak Eroh yang turut serta dalam rombongannya
erte kacrut.
Orang-orang terus berdatangan. Erte
Mbambung memang berkomitmen tinggi untuk menyediakan tempat yang layak dan
pantas untuk hajatan ini. Intinya, tamu-tamu yang hadir harus nyaman, tidak
kehujanan dan bisa piknik sekeluarga sekalian. Siapa tahu, ada yang nggak
sempat piknik kayak dirinya waktu lebaran kemaren.
Urusan berapa bayarnya, berapa uang
sewanya, itu aurat! Nggak boleh diperlihatkan pada orang lain. Cukup kalangan
terbatas, sebagai bukti akuntabilitas dirinya sebagai erte. Sejauh ini, nggak
ada yang protes dan keberatan, karena memang timbangan maslahat, faedah, dan
manfaatnya lebih banyak dari sekadar isu kacangan tentang pencitraan atau
wah-wahan...
“Udah beres,” begitu jawabannya
setiap kali ditanya.
Rumusnya Erte Mbambung soal anggaran sederhana banget, pantas dan bisa
dipertanggungjawabkan. Pantas berarti tidak mengada-ada, sesuai kebutuhan dan
fungsinya. Bisa dipertanggungjawabkan, wong ada itung-itungannya. Jelas! Wong
pelit, bakil, koret itu juga dibenci agama. Menyiksa diri sendiri, mempersulit
diri sendiri apalagi orang lain juga nggak boleh sama agama. Begitu dia kutip omongannya
Ustadz Jupri.
Dan memuliakan tamu itu kebalikan
dari berlaku koret dan medit itu… Ya otomatis, erte kacrut bakal milih yang
itu. Maka sebuah saung menghadap danau nusantara di pilihnya. Biar semua pada
senang, biar pikirannya pada terang, dan kalaupun ada yang panas, tinggal cuci
muka pakai air danau atau kalau masih kepanasan ya nyebur sekalian…
Dul Kenyut juga sebenernya masih
penasaran sama keputusan erte kacrut yang mengagumkan itu. Tapi ya memang begitulah dia, das des das
des, lugas dan apa adanya. Jadi agak saru dan nggak sopan juga kalau masih
bertanya ada apa di balik ini semua. Tapi erte kacrut sendiri sangat terbuka
kok, bahkan sering dia minta dikoreksi setiap tindakannya.
“Nggak puas, bisa dibalikin…”
begitu dia tiap kali ada warga yang tidak puas dengan tindakan dan
keputusannya. “Semua pertanyaan ada jawabannya, semua ada penjelasannya…”
Mantep dah! Dul Kenyut bakal nanya
kalau pas waktunya. Ini etika
yang dia serap dari juragannya juga, nanya juga ada waktu dan tempatnya. Jangan
asal, nggak tahu tempat, nggak tepat waktu. Orang lagi shalat ditanya,
mentang-mentang mau jadi makmumnya, “Sudah rakaat keberapa? Saya ikutan makmum
ya…” tanya calon makmum. “Oh baru tahiyat pertama…” sahut si calon imam. Oalah, ya batal semua…
Semakin siang, tamu semakin banyak
berdatangan. Ada
pejabat, ada orang melarat ngumpul jadi satu kayak peyeknya Mak Eroh. Kelihatan
erte kacrut menyapa mereka semua dan selalu meninggalkan pipi yang maju mundur
karena entah apanya yang bikin lawan bicaranya ketawa…
“Bikin senang orang kan pahala,
Dul…” katanya setiap kali. Dan kali ini erte kacrut bakal kebagian pidato di
depan bupati dan para petinggi lain. Apakah dia bakal bikin senang yang
mendengarnya…
Belum
tentu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar