Kelihatannya perlu pendalaman materi tuh, soal menahan kentut ketika
shalat. Biarlah itu urusan para ustadz mushala, biar ada kerjaannya. Karena
Erte Mbambung sudah percaya betul sama pengurus mushalanya, bahwa urusan nahan
kentut ketika shalat, bukanlah urusan erte. Biar ketahuan tugas para juru
dakwah itu benar-benar mengamalkan ilmunya untuk mencerahkan masyarakat. Bukan
untuk shaleh sendirian...
Dul Kenyut cengengesan doang waktu ditanya Ustadz Jupri soal keberadaan
Erte Mbambung.
”Lagi nyari belut, Ustadz...”
Ustadz Jupri terperangah, lalu istighfar nggak berhenti.
”Buat lebaran...”
”Buat lebaran?” ustadz muda itu mengulang pelan kata-kata Dul Kenyut.
”Iya, buat pepes! Wah enak banget, Tadz... pakai nasi hangat, makannya abis
shalat ied, duduk di bale, ngeriung... wah, indah banget dah...” Dul Kenyut
nyerocos sambil ngeces-ngeces air liurnya. Nggak peduli Ustadz Jupri sudah
balik ke mihrab untuk meneruskan zikir dan doanya yang belum selesai.
”Ustadz belum pernah ngrasain sih, racikan bumbu pepesnya itu legit
banget... nggak ada tanding pokoknya. Kalau saja Erte Mbambung mau buka
restoran pepes belut, pasti Pak Makyuss yang di tivi itu bakal klepek-klepek
ketagihan... dan nggak mau pulang!” Dul Kenyut tetap masih nggak sadar kalau
dia ngomong sendirian.
Dia juga nggak nyadar, kalau ada anak-anak tanggung yang iseng nyodorin
mikrofon dekat mulutnya, hingga omongan ngaconya kedengaran orang-orang yang
nggak pada taraweh karena asyik nonton sinetron ACB – Aku Cinta Bertasbih. Dan
pasti saja, sang penguasa Kampung Kacrut alias Erte Mbambung yang sudah siap
tempur dengan sarung digulung, senter dan kelewang, serta kantong bakal belut
buruannya kaget bukan kepalang.
”Kultum kok mbahas resep pepes...” ujarnya sambil terus berlalu.
”Meski hanya pepes belut, tapi mampu jadi magnet orang sekampung buat
ngumpul, Tadz... artinya makanan itu berkah, kepemimpinannya juga berkah.
Bukannya ukuran keberkahan itu antara lain disenangi banyak orang walau dalam
keadaan paling sederhana sekalipun, Tadz? Mungkin juga karena Erte Mbambung
nyari belut dengan keringat sendiri, ngulek bumbunya dengan tenaga sendiri,
dari hasil kebun sendiri semua bumbu dan daun pisang yang buat bungkus...
kecuali berasnya sih, sumbangan tetangga...” Dul Kenyut terus ngoceh,
”Maksudnya, tetangga pada nyumbang sukarela. Ikhlas lahir batin, karena Erte
Mbambung sudah sedemikian rupa membuat warga kampung tenteram lahir dan
batin...”
Ustadz Jupri asyik mahsyuk dengan zikirnya nggak terlalu peduli dengan
ocehan Dul Kenyut yang terus disimak warga sekampung. Ditertawakan anak-anak di
samping pagar mushala. Membuat anak-anak cekikikan, dan anak tanggung
cekakakan. Mungkin Ustadz Jupri sedang trance dengan zikirnya, jadi tak lagi
ingat sekelilingnya penuh dengan suka cita dan kegembiraan. Kegembiraan yang
sangat sederhana dari jamaah mushala. Seperti kegembiraan Erte Mbambung yang
terus menyabetkan kelewangnya pada belut-belut yang terus menggodanya di tanah
sawah yang baru dicangkuli.
Erte Mbambung terus membayangkan, warganya suka cita makan pepes belut dan
nasi hangat sambil berceloteh dengan mulut belepotan bumbu dan nasi. Rumahnya
riuh, hangat, dan semarak. Ah, betapa sederhananya membagi dan membahagiakan...
”Pokoknya pepes belut Pak Erte, mah emaknya Maknyussss...” suara Dul Kenyut
menggema ke mana-mana, membuat warga sekampung tersenyum. Walau ada yang
tidak...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar