Jumat, 11 November 2011

Ocehan Erte Kacrut # 6


Jauh hari sebelum lebaran tiba, masih semangat-semangatnya puasa, Erte Mbambung sering lolos dari penglihatan warganya. Beberapa kali, setiap mata menuju sajadah paling pojok, tempat keramatnya di mushala selama taraweh, selalu sudah tidak ada penghuninya. Kabur duluan seperti anak-anak yang begitu ’wa’alaikum salam’ shalat witir berakhir langsung nggulung sarung. Lalu berisik rebutan sandal, hanya karena ingin buru-buru kentut yang sudah lama ditahan-tahan.
Kelihatannya perlu pendalaman materi tuh, soal menahan kentut ketika shalat. Biarlah itu urusan para ustadz mushala, biar ada kerjaannya. Karena Erte Mbambung sudah percaya betul sama pengurus mushalanya, bahwa urusan nahan kentut ketika shalat, bukanlah urusan erte. Biar ketahuan tugas para juru dakwah itu benar-benar mengamalkan ilmunya untuk mencerahkan masyarakat. Bukan untuk shaleh sendirian...
Dul Kenyut cengengesan doang waktu ditanya Ustadz Jupri soal keberadaan Erte Mbambung.
”Lagi nyari belut, Ustadz...”
Ustadz Jupri terperangah, lalu istighfar nggak berhenti.
”Buat lebaran...”
”Buat lebaran?” ustadz muda itu mengulang pelan kata-kata Dul Kenyut.
”Iya, buat pepes! Wah enak banget, Tadz... pakai nasi hangat, makannya abis shalat ied, duduk di bale, ngeriung... wah, indah banget dah...” Dul Kenyut nyerocos sambil ngeces-ngeces air liurnya. Nggak peduli Ustadz Jupri sudah balik ke mihrab untuk meneruskan zikir dan doanya yang belum selesai.
”Ustadz belum pernah ngrasain sih, racikan bumbu pepesnya itu legit banget... nggak ada tanding pokoknya. Kalau saja Erte Mbambung mau buka restoran pepes belut, pasti Pak Makyuss yang di tivi itu bakal klepek-klepek ketagihan... dan nggak mau pulang!” Dul Kenyut tetap masih nggak sadar kalau dia ngomong sendirian. 
Dia juga nggak nyadar, kalau ada anak-anak tanggung yang iseng nyodorin mikrofon dekat mulutnya, hingga omongan ngaconya kedengaran orang-orang yang nggak pada taraweh karena asyik nonton sinetron ACB – Aku Cinta Bertasbih. Dan pasti saja, sang penguasa Kampung Kacrut alias Erte Mbambung yang sudah siap tempur dengan sarung digulung, senter dan kelewang, serta kantong bakal belut buruannya kaget bukan kepalang.
”Kultum kok mbahas resep pepes...” ujarnya sambil terus berlalu.
”Meski hanya pepes belut, tapi mampu jadi magnet orang sekampung buat ngumpul, Tadz... artinya makanan itu berkah, kepemimpinannya juga berkah. Bukannya ukuran keberkahan itu antara lain disenangi banyak orang walau dalam keadaan paling sederhana sekalipun, Tadz? Mungkin juga karena Erte Mbambung nyari belut dengan keringat sendiri, ngulek bumbunya dengan tenaga sendiri, dari hasil kebun sendiri semua bumbu dan daun pisang yang buat bungkus... kecuali berasnya sih, sumbangan tetangga...” Dul Kenyut terus ngoceh, ”Maksudnya, tetangga pada nyumbang sukarela. Ikhlas lahir batin, karena Erte Mbambung sudah sedemikian rupa membuat warga kampung tenteram lahir dan batin...”
Ustadz Jupri asyik mahsyuk dengan zikirnya nggak terlalu peduli dengan ocehan Dul Kenyut yang terus disimak warga sekampung. Ditertawakan anak-anak di samping pagar mushala. Membuat anak-anak cekikikan, dan anak tanggung cekakakan. Mungkin Ustadz Jupri sedang trance dengan zikirnya, jadi tak lagi ingat sekelilingnya penuh dengan suka cita dan kegembiraan. Kegembiraan yang sangat sederhana dari jamaah mushala. Seperti kegembiraan Erte Mbambung yang terus menyabetkan kelewangnya pada belut-belut yang terus menggodanya di tanah sawah yang baru dicangkuli.
Erte Mbambung terus membayangkan, warganya suka cita makan pepes belut dan nasi hangat sambil berceloteh dengan mulut belepotan bumbu dan nasi. Rumahnya riuh, hangat, dan semarak. Ah, betapa sederhananya membagi dan membahagiakan...
”Pokoknya pepes belut Pak Erte, mah emaknya Maknyussss...” suara Dul Kenyut menggema ke mana-mana, membuat warga sekampung tersenyum. Walau ada yang tidak...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar