Memang nggak gampang jadi pejabat publik. Sudah pejabat, publik lagi...
begitu selalu Erte Mbambung memilah. Menggoda amanat yang sedang disandangnya
sendiri. Yah, walaupun hanya erte. Penghuni urutan paling buncit dalam struktur
pemerintahan republik yang punya ratusan bupati dan walikota, ribuan camat dan
sekretaris camat yang berpotensi mendapat promosi menjadi camat, serta puluhan
ribu erwe dengan berbagai model termasuk erwe ’Nganu’ di sinema Para Pencari
Tuhan besutan Haji Deddy Mizwar. Erte Mbambung sadar benar, ada
pertanggungjawaban publik dalam setiap tindakan, omongan dan pikirannya.
”Berat juga jadi erte ya,” ujar Dul Kenyut sembari menekuk dengkulnya.
Bersila di bale-bale bambu yang bunyi kriet-krietnya makin sering saja. Rasanya
sih, mesti diganti yang lebih kokoh. Karena kalau ngomongnya diganti baru,
nanti bisa dipolitisasi jadi isu ibu-ibu fans club tukang sayur keliling dan
bapak-bapak pensiunan yang nggak punya kerjaan tapi butuh eksistensi.
”Kayaknya bale-bale makin reyot aja, Te...” Dul Kenyut ngoceh lagi padahal
Erte Mbambung belum nyahut sepatah kata pun. ”Harus diganti Te... Bahaya, kalau
sampai ambruk pas ada tamu penting...”
”Semua tamu di rumah ini penting Dul...” sahut erte kacrut sambil
methingkrang alias duduk sarungan sambil ngangkat kaki.
Halah, mesti begitu. Dul Kenyut mesti dalam posisi skak seter. Nggak bisa
nglawan. Pasrah, menerjemahkan kejamnya kata-kata sang erte kacrutnya itu. IPK
tiga tidak terlalu bermakna buat erte yang semelekete ini.
Pelajaran memuliakan tamu bagi Dul Kenyut memang tidak didapatnya dari
kuliahan, tapi malah dari ertenya ini. Semua tamu mulia, diperlakukan sama,
tidak peduli apa jabatan dan pangkatnya. Erte Mbambung akan dengan seenaknya
duduk methingkrang, njilati biji duren sampai klimis, bahkan semut pun nggak
kebagian lagi manisnya atau disambi ngopi yang pahitnya lebih dari brotowali.
Soal pahitnya kopi Pak Erte, nanti kita bicarakan di lain topik.
Mungkin sikap inilah yang membuat Bupati enggan mertamu ke rumah erte
kacrut itu. Banyak sekali alasan yang menabalkan secara sah dan meyakinkan,
bahwa rumah Erte Mbambung sangat tidak layak disambangi pejabat sekelas bupati
itu. Karena, Erte Mbambung pasti akan memerlakukan sama dengan tamunya yang
lain. Seperti dia menerima Nyai Opat Apit Opatimah yang kakinya dekil binti
busik, Rebes yang lemotnya susah dikalahin, atau Ciblek, bekas pelacur yang
sedang proses tobat.
Nggak ada protokoler, palingan suruh duduk di bale-bale yang mulai reyot
itu. Satu-satunya tempat yang mungkin diduduki bebarengan di rumah itu. Bikin
minum sendiri, terserah seleranya, mau teh atau kopi. Kalau minumnya air putih
ya paling disuruh nuang sendiri dari kendi tanah. Alasannya, kalau dituangin
dia nggak ngerti ukurannya. Kalau kebanyakan nanti mubazir, kalau kehausan dan
pengin nambah pasti bakal bikin repot, karena ngobrolnya nggak kelar, cuma
sibuk nuangin air buat tamunya doang... Ah, dasar kacrut!
Tapi bener lho, walau sudah setahun lebih bertetangga dan jadi warga
Kampung Kacrut, sang Bupati sama sekali belum pernah main ke rumah Erte
Mbambung. Slogan pemimpin yang merakyat dan melayani hanya isapan jempol
cantengan belaka. Padahal, hampir setiap hari tuh rumah ramai mondar-mandir
tamunya. Dari yang sekadar mau minum air kendi, numpang kencing, atau mau
bicara setengah serius bahkan membicarakan bab paling serius sekalipun.
Edannya, si erte kacrut itu cuek saja... seperti nggak menganggap keberadaan
orang penting di kampungnya.
Dul Kenyut mikir, inilah kalau jabatan jadi tujuan. Dijadiin jubah
kebesaran. Kalau otaknya kerdil, maka jadi
terlalu berat untuk meletakkan label dan atribut yang menempel. Hubungan
antarmanusia yang begitu mulia, seolah disekat oleh jabatan yang umurnya cuma
hitungan hari saja. Bahkan kalau dikonversikan ke jam, jadilah beberapa ribu
jam saja. Yah, paling lama 32 tahun seperti Suharto, itupun rontok didemo.
Nggak ada yang abadi... termasuk erte kacrut itu. Nanti akan berganti dengan
erte yang lain. Mungkin lebih canggih, lebih jelas kerjanya, lebih baik
manajemennya. Atau bisa-bisa malah lebih kacrut...
”Kenapa nggak diundang aja, Te?” Dul Kenyut menggoda ertenya.
”Emoh...”
Hehe, mana mau Erte Kacrut model dia ngundang pejabat. Ribet. Kasihan
warganya yang sudah ribut dengan ribetnya urusan sehari-hari. Harus repot untuk
hal yang nggak ngaruh dalam hidupnya. Wong warga Kampung Kacrut sudah repot
bukan main dengan hidupnya. Dari pagi menuju pagi, semua repot. Kecuali ya
ertenya itu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar