Jumat, 11 November 2011

Ocehan Erte Kacrut # 3


Memang nggak gampang jadi pejabat publik. Sudah pejabat, publik lagi... begitu selalu Erte Mbambung memilah. Menggoda amanat yang sedang disandangnya sendiri. Yah, walaupun hanya erte. Penghuni urutan paling buncit dalam struktur pemerintahan republik yang punya ratusan bupati dan walikota, ribuan camat dan sekretaris camat yang berpotensi mendapat promosi menjadi camat, serta puluhan ribu erwe dengan berbagai model termasuk erwe ’Nganu’ di sinema Para Pencari Tuhan besutan Haji Deddy Mizwar. Erte Mbambung sadar benar, ada pertanggungjawaban publik dalam setiap tindakan, omongan dan pikirannya.
”Berat juga jadi erte ya,” ujar Dul Kenyut sembari menekuk dengkulnya. Bersila di bale-bale bambu yang bunyi kriet-krietnya makin sering saja. Rasanya sih, mesti diganti yang lebih kokoh. Karena kalau ngomongnya diganti baru, nanti bisa dipolitisasi jadi isu ibu-ibu fans club tukang sayur keliling dan bapak-bapak pensiunan yang nggak punya kerjaan tapi butuh eksistensi.
”Kayaknya bale-bale makin reyot aja, Te...” Dul Kenyut ngoceh lagi padahal Erte Mbambung belum nyahut sepatah kata pun. ”Harus diganti Te... Bahaya, kalau sampai ambruk pas ada tamu penting...”
”Semua tamu di rumah ini penting Dul...” sahut erte kacrut sambil methingkrang alias duduk sarungan sambil ngangkat kaki.
Halah, mesti begitu. Dul Kenyut mesti dalam posisi skak seter. Nggak bisa nglawan. Pasrah, menerjemahkan kejamnya kata-kata sang erte kacrutnya itu. IPK tiga tidak terlalu bermakna buat erte yang semelekete ini.
Pelajaran memuliakan tamu bagi Dul Kenyut memang tidak didapatnya dari kuliahan, tapi malah dari ertenya ini. Semua tamu mulia, diperlakukan sama, tidak peduli apa jabatan dan pangkatnya. Erte Mbambung akan dengan seenaknya duduk methingkrang, njilati biji duren sampai klimis, bahkan semut pun nggak kebagian lagi manisnya atau disambi ngopi yang pahitnya lebih dari brotowali. Soal pahitnya kopi Pak Erte, nanti kita bicarakan di lain topik.
Mungkin sikap inilah yang membuat Bupati enggan mertamu ke rumah erte kacrut itu. Banyak sekali alasan yang menabalkan secara sah dan meyakinkan, bahwa rumah Erte Mbambung sangat tidak layak disambangi pejabat sekelas bupati itu. Karena, Erte Mbambung pasti akan memerlakukan sama dengan tamunya yang lain. Seperti dia menerima Nyai Opat Apit Opatimah yang kakinya dekil binti busik, Rebes yang lemotnya susah dikalahin, atau Ciblek, bekas pelacur yang sedang proses tobat.
Nggak ada protokoler, palingan suruh duduk di bale-bale yang mulai reyot itu. Satu-satunya tempat yang mungkin diduduki bebarengan di rumah itu. Bikin minum sendiri, terserah seleranya, mau teh atau kopi. Kalau minumnya air putih ya paling disuruh nuang sendiri dari kendi tanah. Alasannya, kalau dituangin dia nggak ngerti ukurannya. Kalau kebanyakan nanti mubazir, kalau kehausan dan pengin nambah pasti bakal bikin repot, karena ngobrolnya nggak kelar, cuma sibuk nuangin air buat tamunya doang... Ah, dasar kacrut!
Tapi bener lho, walau sudah setahun lebih bertetangga dan jadi warga Kampung Kacrut, sang Bupati sama sekali belum pernah main ke rumah Erte Mbambung. Slogan pemimpin yang merakyat dan melayani hanya isapan jempol cantengan belaka. Padahal, hampir setiap hari tuh rumah ramai mondar-mandir tamunya. Dari yang sekadar mau minum air kendi, numpang kencing, atau mau bicara setengah serius bahkan membicarakan bab paling serius sekalipun. Edannya, si erte kacrut itu cuek saja... seperti nggak menganggap keberadaan orang penting di kampungnya.
Dul Kenyut mikir, inilah kalau jabatan jadi tujuan. Dijadiin jubah kebesaran. Kalau otaknya kerdil, maka jadi  terlalu berat untuk meletakkan label dan atribut yang menempel. Hubungan antarmanusia yang begitu mulia, seolah disekat oleh jabatan yang umurnya cuma hitungan hari saja. Bahkan kalau dikonversikan ke jam, jadilah beberapa ribu jam saja. Yah, paling lama 32 tahun seperti Suharto, itupun rontok didemo. Nggak ada yang abadi... termasuk erte kacrut itu. Nanti akan berganti dengan erte yang lain. Mungkin lebih canggih, lebih jelas kerjanya, lebih baik manajemennya. Atau bisa-bisa malah lebih kacrut...
”Kenapa nggak diundang aja, Te?” Dul Kenyut menggoda ertenya.
”Emoh...”
Hehe, mana mau Erte Kacrut model dia ngundang pejabat. Ribet. Kasihan warganya yang sudah ribut dengan ribetnya urusan sehari-hari. Harus repot untuk hal yang nggak ngaruh dalam hidupnya. Wong warga Kampung Kacrut sudah repot bukan main dengan hidupnya. Dari pagi menuju pagi, semua repot. Kecuali ya ertenya itu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar