Saya teringat Sersan Daslan Cukup, salah satu tamtama AL yang ikut dalam
kompetisi stand up comedy di sebuah
televisi. Gayanya lugas, khas Jawa
Timuran, dan meski ceritanya sudah sangat generik. Lawakan lama, banyak di
google... Tapi yang membuat saya terkesan ketika dia menyebut namanya tiga kali
setiap kali opening dan mengakhiri pementasannya.
”Cukup... Cukup... Cukup...”
Ya begitulah kalimat ajaib Pak
Sersan di kontes stand up comedy yang
konon pertama kali di Indonesia. Meski saya sudah mengenal beberapa nama stand
up comedian di Indonesia beberapa tahun sebelumnya. Radio SK yang sudah
almarhum adalah salah satu radio yang dulu produktif melahirkan komedian.
Hampir semua komedian yang sekarang tampil di tivi, sebagian besar pernah
singgah di radio yang tag-nya, radio
senyum dan ketawa itu.
Ada almarhum Taufiq Savalas,
komedian stand up yang keren. Lalu Iwel Sastra yang kini punya program di tivi
swasta juga seorang komedian stand up awal di jagat hiburan. Dan tentu banyak
lagi, apalagi kalau kita lihat pidato pejabat dari level tertinggi, sampai
KW-1, 2, 3-nya. Merekalah sejatinya komedian stand up yang paling lucu. Soal
konten, tahu sendirilah. Tergantung posisi dan isunya.
”Cukup... Cukup... Cukup...”
Kesederhanaan dan kelugasan Pak
Sersan ini benar-benar menggoda saya. Saya tergoda untuk menirukan ucapannya.
Walaupun agak sulit menirukan persisnya. Tapi saya yakin, kefasihan karena
sebuah usaha intensif. Maka saya sekarang pun mulai sering berucap, ”Cukup!”
Awalnya tidak terlalu sering, tapi semakin ke sini, semakin sering. Alah bisa
karena biasa, maka saya pun mulai terbiasa mengucap, ”Cukup...”
Interpretasi saya sebagai orang
goblog, kata ’cukup’ tidak dimiliki banyak orang. Karena kebanyakan orang
memilih mengoleksi kata ’kurang’ dan ’lagi’. Dalam skala terkecil, suami bisa
komplain karena sayur masakan istrinya ’kurang’ garam. Atau ketika membuatkan
teh atau kopi ’kurang’ manis. Dan ketika dimasakan rada enak, selalu bilang
’lagi’, kalau tehnya enak bilang ’lagi’, kopinya kental dibikinkan pakai
cangkir bilangnya, ”Kurang, lagi dong...”
Pilihan untuk ’cukup’ memang tidak
mudah. Bisa jadi kita merasa ’cukup’, tapi pihak lain mendorong untuk ’lagi’.
Atau ada pihak yang merasa ’kurang’ sehingga harus diteruskan. Dorongan dan
pengaruh dari luar diri inilah yang sering membuat seseorang berada di altar
dilematis. Hidupnya disetir orang banyak di sekelilingnya, karena ’kurang’ dan
’lagi’ itu.
”Cukup... Cukup... Cukup...”
Pak Sersan membawa saya pada sebuah
keberanian. Untuk secara sadar mengukur diri dan kemampuan. Tidak selamanya
seseorang cocok di segala zaman. Sejarah dengan kejam menelan dan
menenggelamkan torehan sejarah cemerlang. Semata-mata ketidakpekaan seseorang
meniti zamannya. Hanya orang goblog yang mengulang kebodohan sejarah. Dan saya tidak mau. Maka sebelum saya
kadaluarsa, saya harus berani bilang, ”Cukupkan saya sampai di sini...”
merasa cukup kan disarankan sama agama.biasa nyebutnya qanaah. banyak orang yg ga qanaah ama jabatan ujung2nya pait, sepet, nyesek. kita cm ga boleh qanaah dlm ilmu n amal
BalasHapus*IMHO*
kadang kala juga... orang nggak paham dan nggak mau ngerti, bahwa jabatan adalah penjara, dan orang2 yang memaksa orang lain untuk terus menjabat kan sama juga memenjara orang tanpa disadarinya...
BalasHapus